02. Mansion


Mobil hitam yang kamu naiki bersama seorang lelaki yang sedari tadi membisu, kini berhenti di depan sebuah mansion megah yang letaknya di tengah hutan. Mungkin pemiliknya menginginkan suasana yang tenang, sehingga membangunnya jauh dari hiruk pikuk kehidupan di kota besar, pikirmu.

Tidak lama, dua lelaki berseragam hitam menghampiri mobil yang kalian naiki dengan membawa dua buah payung di tangannya meski hujan hanya turun rintik-rintik. Lalu, lelaki yang duduk di kursi mengemudi itu membantumu melepas sealt belt yang menahan tubuhmu dari guncangan, dan mengisyaratkan untuk keluar dari mobil.

Setelahnya, kamu berjalan di belakangnya. Mengikutinya dengan langkah lambat diiringi oleh seorang pria bertubuh kekar yang menyamai langkahmu sembari memayungi tubuhmu, melindungimu dari dinginnya air hujan. Sesekali kamu merapatkan jas hitam yang sebelumnya kamu terima dari lelaki yang kini memandumu untuk memasuki kediamannya, berusaha menutupi bagian atas tubuhmu yang hampir terekspos.

“Selamat datang, Tuan Suguru,” sapa beberapa pelayan yang memakai pakaian seragam secara bersamaan, menyambut kedatangan lelaki yang bernama Suguru itu.

Lelaki itu hanya tersenyum membalas sapaan mereka, lalu meminta pelayan-pelayan tersebut untuk melayanimu, “Tolong siapkan kamar dan pakaian ganti untuk dia.”

“Dia tamu saya.” imbuhnya.

“Baik, Tuan.” jawab mereka dengan sedikit membungkuk, lalu membawamu pergi.

Kamu terus berpikir, siapakah lelaki itu? Memiliki mansion seluas dan semegah ini, dengan beberapa bodyguard yang bersiaga dan banyak sekali pelayan yang melayaninya tentu dia bukanlah orang biasa.


Kamu berjalan menyusuri lorong kediaman lelaki itu bersama lima orang pelayan wanita yang dua diantaranya membantumu berjalan karena tubuhmu sempat terhuyung. Hingga akhirnya langkah kaki kalian berhenti di depan sebuah ruangan yang pintunya bercat putih dengan ukiran indah yang menghiasinya.

Salah seorang pelayan yang mengiringimu tadi membukakan pintu dan menampilkan sebuah kamar tidur yang luas, lengkap dengan kasur queen size, lemari, sofa, meja rias, dan juga kaca besar yang mampu merefleksikan penampilanmu yang tampak menyedihkan dari kepala sampai ujung kaki.

“Silakan Nona membersihkan diri dulu sembari menunggu kami menyiapkan tempat istirahat Nona,” ujar salah seorang pelayan berambut hitam ikal sembari membuka pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar tidurmu.

“Perlu kami bantu, Nona?” tanya seorang pelayan lainnya.

Kamu menggeleng pelan dan menampilkan senyum sebisamu, “Terima kasih, sepertinya saya masih bisa melakukannya sendiri,” tolakmu dengan halus.

“Jika butuh sesuatu, panggil kami saja, Nona” balas pelayan itu.

“Tentu,” jawabmu, masih menyunggingkan senyum sebelum memasuki kamar mandi yang membuatmu takjub.

Desain kamar mandi itu tampak mewah, luas, bersih, dan juga dipenuhi oleh harumnya bunga lavender yang menenangkan. Bath tub di dalamnya pun sudah terisi dengan air hangat yang siap untuk merelaksasikan tubuhmu yang lelah, tampaknya itu telah disiapkan oleh salah seorang pelayan yang sudah berada di sana lebih dulu.

Setelah melepas seluruh pakaian yang melekat pada tubuhmu, kamu pun memasuki bath tub dan merasakan kehangatan mulai merangkulmu. Rasa perih pada lututmu akibat terjatuh dan bersentuhan dengan aspal itu mulai terasa, mengingatkanmu akan kejadian memalukan beberapa saat lalu.

Kamu hanya berharap hal itu tidak pernah terjadi, atau hanya sebatas bunga tidur di istirahatmu yang lelap.

Air mata mulai membanjiri pelupuk matamu kala melihat bekas ikatan pada tanganmu, bahkan bekas kecupan dan hisapan pada kedua buah dadamu tampak jelas, seolah meyakinkanmu bahwa hal keji yang dilakukan oleh Nanami adalah nyata adanya.

“Menjijikkan,” cicitmu dengan suara serak sembari menyabuni tubuhmu dengan kasar, berharap dosa yang melekat pada tubuhmu turut hilang bersamaan dengan hilangnya buih sabun.


Kamu berjalan keluar dari kamar mandi hanya menggunakan bathrobe yang sudah disiapkan di dalam sana, dan di kejutkan dengan beberapa pelayan yang sudah berjajar sembari membungkukkan tubuhnya di depan pintu kamar mandi.

“Ruang tidur Nona sudah selesai kami siapkan, dan ini pakaian untuk Nona kenakan,” ujar salah seorang pelayan yang berdiri paling dekat denganmu.

“Dress hitam?” batinmu kala melihat pakaian yang pelayan itu sodorkan padamu.

“Maaf, Nona. Ini permintaan Tuan Suguru agar Nona mengenakan dress ini. Kami juga sudah menyiapkan pakaian lain yang bisa Nona kenakan untuk tidur di dalam lemari, agar lebih nyaman digunakan untuk beristirahat,” jelas pelayan itu yang melihatmu tampak kebingungan.

Dress ini cantik sekali! Terima kasih banyak, akan saya pakai dengan senang hati,” jawabmu sembari tersenyum, lalu dibalas senyuman oleh pelayan-pelayan itu.

“Syukurlah, selera Tuan kami memang tidak salah,” balas pelayan itu, membanggakan tuannya.

“Kalau begitu, kami permisi, Nona. Selamat beristirahat,” pamitnya, mewakili pelayan yang lain.


Kamu bercermin, melihat pantulan tubuhmu yang mengenakan dress hitam selutut yang tampak pas di tubuhmu.

Dress itu tampak cantik dan elegan. Berbahan dasar sutra, terasa lembut dan nyaman ketika digunakan. Sedangkan bagian atas dada hingga lengan memakai bahan brukat, sehingga tidak terlalu memperlihatkan bahumu.

Tidak lama, terdengar suara ketukan pada pintu kamarmu.

“Boleh saya masuk ke dalam?” tanya seorang lelaki dari balik pintu.

“Silakan,” jawabmu cepat-cepat.

Pintu pun terbuka, menampilkan seorang lelaki yang membawa kotak P3K dan juga sebuah nampan berisikan makanan di tangannya.

Ia menyunggingkan senyumnya yang tampak hangat dan menenangkan kala melihatmu mengenakan dress yang ia pilihkan untukmu.

“Kamu terlihat cantik memakai itu,” pujinya sembari meletakkan nampan yang ia bawa diatas nakas. Lalu ia mendudukkan dirinya diatas sofa yang terletak di sudut kamarmu dan memintamu untuk duduk di sebelahnya.

“Sini, saya akan mengobati luka-lukamu,” ujarnya sambil menepuk sofa yang kosong di sebelahnya.

Kamu berjalan menghampirinya, “Terima kasih, tapi saya bisa melakukannya sendiri,” jawabmu dengan canggung.

Tanpa aba-aba, ia menarik lenganmu pelan, seolah memaksamu untuk menuruti perkataannya.

“Maaf, tapi luka-lukamu harus cepat diobati supaya nggak meninggalkan bekas,” sanggah lelaki itu.

Tampaknya ia adalah seorang lelaki yang keras kepala, hingga kamu pun menuruti perkataannya.


“Saya Suguru. Maaf, saya baru memperkenalkan diri seperti ini,” ucapnya, sembari mengoleskan salep pada tanganmu yang terdapat bekas ikatan yang membiru.

“Terima kasih tuan Suguru, sudah berbaik hati mengizinkan saya untuk singgah di istana Anda. Saya (y/n), merasa sangat terhormat dapat berkenalan dengan Anda,” jawabmu sembari membungkukkan tubuhmu.

Tanpa diduga, ia memegang kedua bahumu, menahanmu agar tidak membungkuk padanya.

“Kamu tamu saya, bukan pelayan saya. Jangan terlalu sungkan, bersikap saja seperti saya adalah temanmu,” titahnya.

“Bolehkan seorang perempuan hina dan rendah seperti saya berteman dengan Anda?” balasmu dengan suara bergetar, mengingat pertemuan pertamamu dengannya dalam situasi yang memalukan.

“Kamu tau? Sekarang kamu terlihat cantik seperti seorang ratu. Dan saya akan selalu menganggapmu begitu. Bagi saya, keagungan seorang wanita dinilai dari kebaikan dan ketulusan hatinya, bukan dari selaput tipis yang dimilikinya,” jawabnya dengan tegas.

“Jadi, jangan pernah kamu merasa hina, padahal kamu adalah seorang yang berharga. Saya harap, kamu dapat tinggal dengan nyaman disini sampai kamu pulih.” sambungnya sembari menampilkan senyumnya yang teduh.

Jantungmu berdegup mendengar ucapannya. Belum pernah kamu mendengar kata-kata itu sebelumnya. Belum pernah pula kamu dipuji seperti saat ini oleh orang lain sampai-sampai membuat matamu meneteskan buliran embun yang segera dihapus oleh jemari Suguru.


Suguru terlihat sibuk membalut luka pada lututmu. Tangannya yang hangat dan kekar itu memegangi kakimu dengan hati-hati, membuatmu merasakan sensasi tersengat aliran listrik hingga membuat jantungmu berdegup kencang.

Kamu tidak tahu pasti, apakah itu reaksi karena trauma akibat kejadian yang menimpamu sebelumnya, atau kamu mulai tertarik pada pandangan pertama kepada lelaki dihadapanmu itu.

“Kalau kamu mau, saya bisa menyiapkan lawyer untuk mendampingimu. Barangkali kamu ingin melihat lelaki berambut pirang itu mendapat ganjaran dari putusan hakim yang mutlak?” ujarnya, memecah keheningan diantara kalian.

Kamu tersenyum getir, “Saya rasa akan sulit untuk menghukumnya? Dia berasal dari keluarga bermartabat yang berkedudukan tinggi dalam pemerintahan,” sanggahmu.

Suguru tertawa mendengar ucapanmu, “Jangan remehkan lawyer saya. Dia nggak pernah gagal dalam menghukum orang-orang keji,” ucapnya dengan bangga.

“Besok kita bicarakan lagi. Setelah ini, kamu makan dan istirahatlah dengan nyaman,” Suguru pun bangkit, lalu menyerahkan nampan berisi makanan yang tadi ia bawa kepadamu.

“Ah, iya. Ini ponsel untuk kamu pakai, mungkin kamu ingin menghubungi keluargamu?” ujarnya seraya menyerahkan ponsel padamu.

Kamu baru ingat, kamu kabur dari mobil tanpa membawa tasmu. Sehingga kartu identitas dan ponselmu tertinggal di dalamnya. Tapi, rasanya itu pun tidak lagi kamu butuhkan.

Bahkan, sejujurnya kamu enggan untuk kembali tinggal di lingkunganmu sebelumnya. Tetangga yang banyak bergosip, rekan kerja yang iri dan tidak tahu diri, serta keluarga egois yang tidak saling peduli dan hanya menyakiti hati, membuatmu sangat muak.

“Nggak perlu. Saya nggak punya seorang pun yang bisa saya kabari,” jawabmu sembari terkekeh pelan.

“Saya hidup sendiri,” imbuhmu.

Suguru memandangmu sekilas, lagi-lagi senyumnya mengembang. Ia menyimpan kembali ponselnya, lalu menepuk kepalamu pelan sebelum berjalan keluar.

“Selamat malam, ratuku,” ujarnya dari kejauhan.

Kamu terpaku. Mungkinkah kamu salah dengar? Tapi kalimat itu terdengar jelas meski suaranya pelan.

Kamu terus menyangkal hasil pendengaranmu, namun kupu-kupu yang berterbangan di perutmu dan dabaran jantungmu bertindak diluar kendalimu.

“Apakah aku menyukainya?” batinmu.


—tbc


“Persona”