04. Elixir



Tiga hari berselang, kondisimu kian membaik berkat perhatian-perhatian dari Suguru yang ia curahkan padamu. Ketika luang, ia mengajakmu berbincang santai, membicarakan isu-isu hangat yang santer terdengar dan terkadang membicarakan tentang buku yang selesai kalian berdua baca di perpustakaan kecil milik Suguru.

Pagi ini tubuhmu terasa segar dan bugar sekali, rasanya disuruh berlari menaiki bukit pun kamu akan sanggup melakukannya. Sepertinya ramuan kesehatan yang Suguru berikan padamu semalam itu memberikan efek yang signifikan pada tubuhmu.

Semalam, pada pukul 20.38 ia mengetuk pintu kamarmu, lalu memberimu sebotol kecil ramuan herbal berwarna merah cerah yang berkilauan dan tampak indah kala terkena sorot cahaya lampu.

“Ini apa?” tanyamu tadi malam.

“Ramuan herbal untuk mempercepat masa pemulihanmu,” jawabnya seraya memberikan sebotol ramuan itu padamu, lalu mengucapkan selamat malam dan pergi meninggalkanmu.

Kamu mengamati botol kecil yang Suguru berikan padamu dengan senyuman yang tidak dapat kamu sembunyikan. Ada seseorang yang memberikan perhatian seperti itu membuat hatimu menghangat, rasanya sangat menyenangkan hingga perutmu terasa geli seolah dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan.

Kamu meminum ramuan yang tadi kamu terima dengan harapan agar tubuhmu cepat pulih, supaya tidak terus menerus menyusahkan Suguru. Cairan itu terasa panas kala melewati kerongkonganmu yang kering, dan rasa pahit yang tidak kunjung hilang dari lidahmu membuatmu mengerang, ”Kerrgghhh! Apa semua ramuan herbat itu sepahit ini ya?” batinmu.

Selain rasa pahitnya, sensasi yang kamu rasakan pasca meminum ramuan itu juga tidak kamu sukai.

Tubuhmu terasa panas dan sesak meski pendingin ruanganmu menyala dengan suhu yang telah kamu atur seperti biasanya, hingga membuat kepalamu pusing dan pandanganmu sedikit kabur. Tubuhmu juga terasa lebih sensitif daripada biasanya, bahkan pakaian tidurmu yang berbahan sutera itu pun membuatmu menggelinjang kala bergesekan dengan kulitmu.

Kamu tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuhmu itu, rasanya sangat menyiksa hingga tidak dapat membuatmu tidur. Sehingga kamu memutuskan untuk berendam dalam bath tub yang sebelumnya sudah kamu penuhi dengan air dingin sampai sensasi panas pada tubuhmu mereda, setelahnya kamu baru dapat tertidur dengan pulas dan bangun dengan tubuh yang segar seperti pagi ini.


Kamu berjalan menuruni tangga, berniat untuk mengamati kebun kecil milik Suguru yang bunganya masih bermekaran. Tapi, kemu mengurungkan niatmu kala mendapati Suguru yang tengah berbincang via ponsel di sofa.

“Pekan depan?” tanya Suguru kepada lawan bicaranya.

“Nggak perlu khawatir, dia pasti mau menandatangani surat pemutusan kontraknya,” ujarnya lagi.

Ketika mata tajamnya berpapasan dengan matamu, ia segera menyudahi obrolannya, “Masih ada yang perlu dibahas? Kalau nggak ada, saya tutup telponnya.”

Suguru tersenyum melihatmu datang, dan memintamu untuk duduk di bagian kosong pada sofa yang ia duduki.

“Merasa lebih baik?” tanyanya.

“Iya, badanku rasanya sangat segar. Tentu saja ini berkat ramuan herbal yang kamu berikan tadi malam,” jawabmu.

“Benarkah? Kalau begitu, nanti saya kasih beberapa botol lagi. Meskipun rasanya nggak enak, tapi itu sangat baik untuk kesehatanmu,” balasnya.

Kamu mengangguk, mengiyakan ucapannya. Mungkin, efek lain yang kamu rasakan seperti tadi malam akan hilang setelah rutin mengkonsumsinya, begitu pikirmu.


Malam ini, lagi-lagi tubuhmu merasakan efek yang sama seperti tadi malam. Kali ini kamu tidak berendam seperti sebelumnya, takut akan membuatmu demam jika berendam dalam air dingin dalam waktu lama.

Rasanya efek ramuan herbal lebih hebat kali ini. Tidak hanya membuat tubuhmu makin sensitif, bahkan liang kewanitaanmu sampai mengeluarkan banyak cairan bening yang kental. Kamu hanya menggeliat diatas ranjangmu, ingin rasanya kamu menjamah bagian tubuhmu yang sensitif itu agar membuatnya lebih baik, tapi kamu terlalu takut untuk melakukannya.

Dalam situasimu yang tengah buruk itu, pintu kamarmu diketuk oleh seseorang beberapa kali, “(y/n)? Apa kamu sudah tidur?”

”Suguru..” batinmu kala mendengar suaranya yang sangat kamu sukai.

Dengan susah payah, kamu melangkahkan kakimu yang terasa lemas menuju pintu guna menemui lelaki yang mendengar namanya saja sudah membuat jantungmu berdebar-debar.

Suguru memasang wajah terkejut ketika melihatmu membuakakannya pintu dengan tubuh bergetar dan tubuh yang dipenuhi peluh. Wajahmu pun tampak merah padam dengan napas terengah bak pelari jarak jauh yang habis menyelesaikan putaran terakhirnya dalam kejuaraan.

Disentuhnya wajahmu dengan tangan kokoh miliknya untuk memeriksa suhu tubuhmu, “Ada apa? Kamu lagi nggak enak badan?”

Sentuhan darinya yang tidak kamu sangka-sangka itu membuat darahmu berdesir hingga tanpa sadar tubuhmu berjingkat. Melihat reaksi tubuhmu yang demikian, Suguru lantas menarik tangannya.

“Maaf, saya megang kamu tanpa izin,” ujarnya.

Sejujurnya, kamu tidak membencinya. Justru kamu sangat menikmati sentuhannya yang singkat tadi, bahkan mendambakan tangan kekarnya itu menjamah setiap jengkal tubuhmu saat ini juga. Sungguh, otakmu tidak dapat berpikir jernih. Pikiranmu hanya dipenuhi oleh Suguru dan bagaimana ia akan memanjakanmu dengan kedua tangannya yang kekar dan kokoh itu.

Dengan tidak tahu malunya, kamu melangkah mendekati Suguru. Meraih kedua tangannya dan menangkupkannya pada kedua pipimu yang bersemu merah seperti buah tomat yang sudah masak di pohonnya.

“Suguru... lagi. Sentuh aku lagi..” cicitmu.

“Apa maksudmu?” tanyanya bingung.

“Sentuh tubuhku dengan jemarimu,” pintamu.

Tanpa aba-aba, Suguru memasukkan dua jarinya yang tebal ke dalam mulutmu. Membiarkan lidahmu yang hangat bermain dengan kedua jarinya itu dengan napas yang memburu selama beberapa saat, lalu menarik kembali jemarinya.

“Terlalu sensual, (y/n),” gumam Suguru.

Tangannya yang kokoh itu pun merengkuh pinggangmu, membawamu masuk ke dalam kamarmu, dan mulai mencumbumu di balik pintu yang sudah ia kunci itu.

Kamu memeluk tubuhnya dengan erat sembari merasakan lidahnya yang menjelajah isi mulutmu. Tubuhmu terus saja bereaksi ketika kedua tangannya mengelus punggungmu hingga menyentuh dua bongkahan daging tebal bagian bawah tubuhmu dan meremasnya.

Lenguhan pun tiada hentinya keluar dari mulutmu setelah Suguru menghentikan ciumannya yang panas itu, dan jemarinya sibuk memanjakan area kewanitaanmu yang sudah dipenuhi lendir kenikmatan dari lubang senggamamu.

Seringaian tipis terlukis pada bibir Suguru kala melihat tubuhmu bergerak dengan jujur, menikmati jemarinya yang bergerak melayani bagian intim pada tubuhmu yang rasanya begitu tamak ingin terus menelan jemari Suguru yang sudah ada tiga di dalamnya.

“Setelah ini, kamu mau saya apakan?” tanyanya tepat pada telingamu, membuatmu merinding karenanya.

Karena kamu tidak kunjung menjawab, ia menghentikan jemarinya yang semula sibuk memainkan area kewanitaanmu.

“Suguru.. aku- aku mau milik Suguru di dalam sini,” ujarmu yang sudah tidak mampu berpikir jernih.

“Hm? Seperti yang pernah dilakukan Nanami?” balasnya.

“Nggak.. dia nggak pernah. Suguru yang pertama.. hanya Suguru..” racaumu. Sejujurnya kamu penasaran, bagaimana ia bisa mengenal orang itu? Tapi kamu mengurungkan niatmu untuk bertanya, karena saat ini yang kamu dambakan adalah kenikmatan lebih yang kamu harapkan dari lelaki yang berada di hadapanmu ini dengan senyuman yang masih saja menghiasi wajah tampannya.

“Kamu yakin?” tanyanya lagi, memastikan kebenaran atas ucapanmu, meski ia tahu betul bahwa yang kamu katakan benar adanya.

Kamu mengangguk dengan mantap sebelum Suguru kembali menciumi bibirmu yang merekah bagai mawar merah yang bermekaran di kebun milik Suguru, lalu menggendongmu dan menghempaskan tubuhmu di atas ranjang tidurmu.


—tbc


“Persona”