06. Regret
Hari-hari telah berlalu, hubunganmu dengan Suguru terasa lebih intim dari hari-hari sebelumnya. Pasalnya, hampir setiap hari cahaya rembulan dan denting jam seolah menjadi saksi bisu dari adegan erotis yang kamu lakukan dengannya. Bahkan, tampaknya keheningan malam hanyalah bualan belaka, karena faktanya; desahan, lenguhan, erangan, derit ranjang kayu, dan suara lolongan dari lubang senggamamu yang terus disumpali oleh Suguru menjadi suara yang menggema sepanjang malam. Seolah tubuhmu dikuasai oleh ruh lain yang selalu haus akan afeksi dari sang pujaan hati.
“Suguru,” bibir mungilmu memanggil sebuah nama dengan manja.
Seorang lelaki yang semula dahinya berkerut membaca dokumen yang ada di tangannya, kini matanya bertaut pandang denganmu sembari mengulas sebuah senyum indah yang tidak pernah membuatmu bosan melihatnya.
“Kamu keliatan serius sekali. Butuh bantuanku?” tawarmu.
Suguru tampak berpikir sejenak, lalu terkekeh pelan.
“Tentu. Kemari..” ujarnya sembari menepuk kedua pahanya, membuat pipimu bersemu merah.
Kamu pun beranjak dari sofa yang berada di depan meja kerja Suguru, lalu berjalan menghampirinya dengan malu-malu.
Lengan kekarnya yang tertutup kemeja lengan panjang berwarna gelap itu merengkuh pinggangmu, lalu menariknya hingga kamu duduk diatas pangkuannya dengan posisi tubuh yang saling berhadapan dengannya.
“Maksudku, aku mau membantumu bekerja,” cicitmu. Kamu tidak dapat menatap langsung wajahnya, sehingga kamu hanya menunduk; menatap kedua tanganmu yang berada diatas dada bidangnya.
“Sekarang pun kamu sudah membantu,” jawabnya, lalu mendekatkan wajahnya pada wajahmu hingga membuatmu menutup mata.
Suara kekehan terdengar darinya, membuatmu sadar bahwa ia tengah menjahilimu. Merasa malu, kamu pun menyembunyikan wajahmu di bahunya yang lebar itu.
Dibelainya suraimu sembari membisikkan sesuatu pada telingamu, “Aku harus menyelesaikan ini dulu, supaya tidak ada ada yang mengganggu.”
Belasan menit berlalu, kamu masih menunggu Suguru dengan posisi duduk diatas pangkuannya sembari memeluknya dari depan agar tidak menghalangi penglihatannya.
Selama menunggu, kamu mengamati lukisan-lukisan indah yang terpasang di dinding; tepatnya di belakang meja kerjanya, meski kamu tidak tahu makna dari lukisan-lukisan itu.
Selain itu, ruang kerja miliknya itu tampak sangat rapi, bersih, luas, serta memiliki wangi yang enak; membuatmu betah berada di dalamnya, terlebih berdua dengannya seperti ini.
“Suguru, kamu menyukai karya seni? Di ruangan ini banyak sekali lukisan. Aku tidak tau maknanya, tapi yang jelas itu semua sangat indah,” tanyamu.
“Benarkah? Aku merasa sangat tersanjung,” balasnya sembari terkekeh pelan.
“Kamu yang melukisnya?”
“Iya, hanya untuk mengisi waktu luang.”
Kamu hanya mengangguk pelan, tidak mengatakan apa pun lagi. Sehingga Suguru kembali bertanya.
“Diantara semua lukisan itu, lukisan mana yang paling menarik perhatianmu?” tanyanya, membuatmu berpikir sejenak.
“Yang itu!” kamu menunjuk salah satu lukisan.
Lukisan itu tampak indah, tapi entah mengapa membuatmu merasa janggal dan tidak enak hati kala melihatnya lama-lama. Di dalam lukisan itu terdapat seorang berambut panjang yang tengah tertidur di hamparan bunga spider lily. Tidak benar-benar tidur, tubuhnya memang tergeletak di tengah sana, tapi kepalanya mendongak menatap arah lain dengan binar mata penuh harap, dan senyuman yang ia ulas tampak seperti senyuman kelegaan seolah baru saja melihat secercah cahaya dari lorong gelap yang panjang.
“Menurutku, itu memang indah. Bukannya aku ingin menyombongkan diri, tapi kurasa itu adalah salah satu karya terbaikku. Aku pun sangat menyukainya. Tapi saat ini tidak ada yang lebih indah dari pada karya seni yang ada di hadapanku,” balasnya.
“Yang mana?”
“Yang saat ini ada di pangkuanku”
“Jangan menggodaku seperti itu!” serumu, lalu memilih untuk melingkarkan kedua tanganmu pada punggungnya yang luas itu dan menyembunyikan wajahmu di bahunya.
“Tapi kamu menyukainya kan?” kamu memilih tidak menjawab pertanyaannya itu. Tentu saja kamu menyukainya! Siapa pula yang tidak akan suka jika dirayu oleh pria sepertinya?
Lagi-lagi Suguru tertawa, sebelum akhirnya ia menciumi bahumu hingga lehermu.
Perlakuannya yang secara tiba-tiba kamu terima itu membuatmu sedikit tersentak hingga kamu pun mengangkat kepalamu dari bahunya, dan mendapati dirinya yang kini menatapmu dengan nakal. Tanpa menunggu waktu lama, Suguru menyambar bibirmu yang merekah dan melumatnya, dan tangannya kini mulai menyelinap memasuki bagian bawah dress pendekmu lalu meremas bongkahan lembut di bawah sana; menimbulkan sensasi gila yang biasa kamu rasakan kala bercinta dengannya.
Suasana di ruang kerja milik Nanami Kento tampak kontras dengan suasana di atas. Wajahnya tampak muram dan begitu kusut, ia tenggelam dengan pikiran-pikirannya sendiri yang seolah membuatnya tampak seperti terbelit benang yang sukar diurai.
Ia terus berpikir akan kejadian-kejadian yang menurutnya janggal. Bagaimana dirinya bisa lepas kendali hingga berbuat cabul pada sekretarisnya yang baru beberapa bulan bekerja dengannya? Atau, bagaimana bisa ia melakukan tindakan sekeji itu? Bahkan, eksistensimu seolah lenyap sejak kejadian itu, tidak ada yang mengetahui keberadaanmu, tidak ada pula yang mengetahui keadaanmu.
Nanami membuang napas panjang sebelum tangannya menarik laci mejanya, lalu mengeluarkan sebuah ponsel dengan fotomu sebagai layar kuncinya.
“Saya harus mencarimu kemana lagi?” ujarnya.
Ia terus memandangi fotomu yang tengah tersenyum itu dengan matanya yang tampak sayu, memperlihatkan penyesalan yang teramat besar padamu.
“Maafkan saya..” cicitnya.
Ingatannya kembali pada sebuah mobil sedan hitam yang membawamu pergi kala itu, namun plat dari mobil itu adalah palsu sehingga pencariannya menemui jalan buntu.
Ia tidak tahu, apakah orang itu adalah orang baik yang memang kebetulan lewat untuk menolongmu atau kah orang berhati keji yang akan memanfaatkan keluguanmu?
Memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin saja menimpamu, membuat amarah dan penyesalannya kembali memuncak. Seandainya hari itu tidak mengajakmu pergi untuk menemaninya, mungkin hal buruk itu tidak akan pernah terjadi. Begitu pikirnya.
Yang ia ingat, sebelum ia lepas kendali hingga melampiaskan nafsunya padamu; tubuhnya terasa memanas, jantungnya berdegup keras dan tidak beraturan, napasnya memburu, dan kejantanannya terasa sesak di bawah sana. Ia benar-benar kehilangan akal sehatnya kala melihatmu yang mencuri pandang padanya dengan malu-malu.
Seingatnya, ia tidak memakan obat atau apapun yang aneh saat itu. Sungguh. Ia hanya makan siang di restoran Italia langganannya bersamamu, dan meminum ramuan herbal dengan botol kristal yang menawan sebagai hadiah dan permintaan maaf dari rekan bisnisnya, Suguru Geto.
Saat itu, Nanami Kento diminta olehnya untuk menemuinya di salah satu penginapan mewah yang letaknya jauh sekali dari hiruk pikuk perkotaan. Namun, mendadak Suguru mengabari bahwa ia tidak bisa hadir karena ada kepentingan lain dan terpaksa ia mengirimkan orang kepercayaannya, Higuruma Hiromi, untuk menggantikannya saat itu.
Sejujurnya, Nanami tidak menyukai Suguru. Baik sebagai rekan bisnis, maupun teman biasa. Pertemuannya dengan Suguru bisa dibilang sangat jarang, ia lebih sering bertemu Higuruma Hiromi yang menghadiri setiap diskusi atau pertemuan bisnis lainnya untukmenggantikan kehadiran Suguru. Bahkan, kamu sendiri belum pernah bertemu dengan Suguru Geto selama bekerja sebagai sekretaris Nanami Kento. Yang kamu tahu, SG Corp. selalu diwakili oleh Higuruma Hiromi.
Terlebih lagi ketika Nanami mendapat kabar bahwa Suguru ingin membatalkan kerja sama. Ketidak sukaannya semakin besar, dan ia berencana untuk datang ke kediamannya esok hari meski jarak yang harus ia tempuh sangatlah jauh. Pokoknya, ia ingin berbicara dengan Suguru secara langsung mengenai pembatalan kontrak yang ia ajukan, tanpa harus diwakili oleh orang kepercayaannya seperti yang lalu-lalu.
—tbc
“Persona”