Between Us
Sukuna Ryomen x fem!reader ⚠️ warning 🔞 nsfw , vulgar words
Aku berjalan melewati lorong-lorong sepi untuk menemukan laki-laki super menyebalkan yang sedari tadi mengirimiku pesan bahkan sesekali menelponku. Tidak hanya itu, bahkan dia menuduhku melakukan hal yang tidak-tidak.
Aku akui, masa haidku akan segera datang sehingga hormon dan suasana hatiku sedang tidak stabil saat ini. Tubuhku rasanya sudah tidak enak dan terasa lebih sensitif. Tapi bukan berarti aku dapat melampiaskan semuanya semauku sendiri tanpa kenal waktu dan tempat.
Tidak butuh waktu lama untukku menemukannya tengah berdiri di sebuah ruangan kecil, fokusnya tertuju pada pemandangan yang ditampilkan oleh jendela kaca berukuran sedang di ruangan itu.
“Bagus juga, tapi ini kesempitan. Nanti gua minta diluasin aja kali ya?” gumamnya.
“Mau dijadiin ruang apa?” tanyaku.
“Ruang meeting?” jawabnya yang tampaknya ia juga masih belum yakin.
Aku hanya mengangguk lalu berjalan mendekat ke arahnya untuk melihat pemandangan seperti apa yang ditampilkan melalui jendela itu. Memangnya sebagus apa sih sampai-sampai dia berencana untuk melebarkan ruangan kecil ini?
Aku berniat hanya ingin melihat sedikit dari balik punggungnya, namun ia malah menarik tanganku untuk berdiri di depannya agar dapat melihat lebih dekat.
“Liat kan? Bisa ngurangin stress liat jalanan kaya gini, kalo malem pasti lebih bagus” ujarnya.
“Iya, stressnya berkurang. Tapi pas liat lu lagi, stressnya nambah lagi” balasku.
“Oh, lu stress kalo liat gua?”
Aku hanya diam, karna aku yakin dia pun tau jawabannya apa.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Lu nyebelin” jawabku singkat.
“Nyebelinnya?”
“Pilih kasih, suka ngomelin gue, ngata-ngatain gue, ngomong yang nggak-nggak ke gue, ada apa-apa pasti gue yang lu tunjuk, ngajuin izin dipersulit, mau ambil cuti apalagi. Yang lain nggak, tapi kenapa gue diperlakukan kaya gitu?”
“Menurut lu kenapa?” tanyanya memintaku untuk menebak-nebak.
“Benci sama gue? Mau balas dendam ke gue? Karna dulu pas awal-awal lu masuk satu team sama gue, gue galakin? Atau karna gue nggak tau kalo lu itu anak bos gue?”
Ia tertawa mendengar tebakan yang kulontarkan. Sukuna menyebalkan itu pasti menganggap ini lelucon kan?
“Jangan ketawa! Jawab!” paksaku.
“Nggak, nggak. Gua cuma... suka aja liat lu marah-marah, lucu.” jawabnya.
Setelah jeda beberapa detik, dia menambahkan, “Kayak monyet.”
Benar kan kataku? Dia memang menyebalkan!
“Lu tuh kaya monyet!”
Dia hanya tertawa dan itu benar-benar membuatku jengkel. Namun saat aku ingin berjalan meninggalkannya, dengan cekatan tangan kirinya mendekap bahuku untuk menahanku pergi. Perlakuan tiba-tiba ini membuat tubuhku merasakan sengatan aneh, dan darahku terasa berdesir karenanya.
Kini kedua tangannya merangkul bahuku dari belakang, lalu dia berbisik sebelum menopang dagunya pada bahuku.
“Gua pengen lu lebih berkembang, kinerja lu bagus, mental lu lebih kuat, lebih unggul dari yang lain,” bisiknya sambil tetap merangkulku.
Harusnya aku berontak, tapi entah mengapa aku enggan. Dan memilih untuk diam mendengarnya bicara.
Aku benci mengatakannya, tapi dipeluk seperti ini olehnya terasa nyaman. Apakah ini efek karena aku tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya?
“Ayah mulai sakit-sakitan. Gua nggak tau bisa nanggung beban sebesar ini apa nggak. Gua nggak tau gua bisa jadi pemimpin yang baik apa nggak buat kalian semua,”
“Bimbing gua kalo gua salah ya..” sambungnya.
Hah? Apa aku tidak salah dengar?
Lalu tangan bodohku ini malah bergerak semaunya sendiri, menepuk lembut kepalanya yang tengah ia sandarkan di bahuku.
“Sukuna, jadi pemimpin itu nggak mudah. Harus adil, tegas, dan bisa mengayomi” ujarku.
“Tapi, gue yakin lu pasti bisa jadi sosok pemimpin yang baik,” sambungku.
Ia tidak membalas sepatah kata pun sehingga membuatku kembali berbicara. Aku sendiri pun bingung, rasanya seperti banyak sekali hal yang ingin ku bicarakan padanya. Rasanya mirip seperti saat berjumpa kawan lama, tapi bedanya dia bukan kawanku.
“Sekarang, lu emang harus pantau langsung semuanya sendiri. Supaya lu paham alur dan pergerakan yang ada, jadi nanti nggak ada yang bisa bodohin lu,” ucapku.
“Dan gue setuju sama ayah lu, perihal penempatan posisi lu di awal itu sebagai pelaksana di lapangan. Jadi lu nggak bingung nantinya,” sambungku.
Aku mendengarnya tertawa pelan, “Bukannya lu benci sama gua? Kenapa care banget?”
“Jangan salah paham. Gue emang benci sama lu, tapi perusahaan lu itu tempat gue nyari uang dan banyak juga yang gantungin hidupnya disana. Gue juga udah bertahun-tahun kerja disana, masa gue tega liat hasil kerja keras banyak orang jadi hancur?” jawabku.
“Kalo gua salah paham, wajar kan? Gua meluk lu kayak gini tapi lu nggak marah, malah elus-elus kepala gua” ujarnya.
Wah, benar-benar ya. Baru saja aku merasa sedikit berempati padanya.
“Ya masa lu lagi down kaya gitu malah gue toyor?” balasku ketus sembari berusaha melepaskan pelukannya.
Lagi-lagi ia tertawa dan makin mengeratkan pelukannya.
“Mau kemana? Gua belom kelar ngilangin stressnya,” ujarnya.
“Ngilangin stress mah liburan.”
“Nggak juga. Stress gua berkurang abis meluk lu kayak gini.”
Mendengar ucapannya barusan, aku menjadi semakin yakin bahwa pasti dia memang stress atau mungkin cenderung gila.
Tangannya yang semula merangkul bahuku kini bergerak turun dan merangkul pinggangku dengan erat, ia benamkan wajahnya pada leherku hingga menciptakan sensasi geli dan desiran aneh pada tubuhku.
“Can we stay like this forever?” gumamnya pelan.
Apa katanya? Aku pasti salah dengar.
“Sukuna?” panggilku.
“Hm?” gumamnya pelan.
“Barusan lu ngomong apa?” tanyaku sembari menoleh ke arahnya.
Melihatku yang menoleh, ia mengangkat kepalanya dari bahuku lalu mendekat, menyisakan jarak beberapa centimeter saja dari wajahku sebelum akhirnya ia benar-benar memangkas habis jarak diantara kami berdua.
Ia menciumku.
Ototku melemas, jantungku berpacu liar dan napasku memburu seiring makin panasnya ciuman kami di ruangan sempit ini.
Sukuna merengkuh erat tubuhku yang tampak tidak berdaya di hadapannya. Lalu dengan bodohnya tanganku bergerak untuk mengalung di lehernya, seolah tidak ingin ia bergerak menjauh dariku.
Konyol bukan? Kami yang sehari-hari saling memaki dan bersikap acuh tak acuh, kini malah terjebak dalam ruangan sempit ini dan berakhir dengan kegiatan yang tidak masuk akal seperti ini.
Ia berhenti, melepaskan ciuman kami yang hampir membuat paru-paruku kehabisan asupan oksigen.
Tangannya memegang daguku, lalu tersenyum. Rasanya menyebalkan, seolah mengejekku yang tampak lemah di hadapannya.
“Tumben mulut lu ini nggak ngomong kurang ajar?”
Sukuna kembali mengecup singkat bibirku.
“Biasanya gua nggak suka rasa yang manis. Tapi ini pengecualian,” bisiknya, membuat telingaku merinding karena sensasi geli yang tiba-tiba menerjang.
Ku dorong dada bidangnya dengan kedua tanganku, agar ia menjauh dariku. Namun nihil, bukannya menjauh ia malah meledekku, membuatku malu dan sebal setengah mampus.
“Lu segitu sangenya sampe pegang-pegang dada gua?”
Setelahnya, ia mulai melepas satu persatu kancing kemeja yang tengah ia kenakan. Saat ini aku hanya berharap, dia tidak mampu mendengar detak jantungku yang makin brutal.
Aneh sekali, aku merasa suhu tubuhku memanas dan napasku makin berat kala melihat tubuh Sukuna yang tampak kokoh itu. Sedangkan Sukuna hanya tersenyum tipis melihatku yang mungkin tampak seperti anak anjing yang lemah di hadapannya.
Sukuna kembali mempersempit jarak diantara kami, bahkan ia mulai menghimpit tubuhku dengan tembok.
“Mampus!” batinku ketika melihat sekeliling kami benar-benar sepi. Tentu saja, bangunan ini baru saja selesai di bangun dan belum beroperasi, saat ini hanya tersisa kami berdua dan tiga orang security yang berjaga di luar bangunan.
Dari awal aku sudah mengira bahwa dia memang gila, tapi aku tidak pernah berpikir bahwa dia akan segila dan sekurang ajar ini.
Bibirnya menciumi leherku dan tangannya mulai menyusup ke dalam pakaianku, membuatku merinding setiap kali tangannya yang hangat menyentuh kulitku. Dengan susah payah, aku menahan lengannya agar berhenti. Dan tentu saja, kekuatanku tidak sebanding dengannya.
“Sukuna! Jangan gila!”
“Gua cuma mau nolong lu. Dari tadi dada lu naik turun kaya susah napas,” jawabnya enteng.
Sungguh, siapa pun tahu dia tidak sebaik itu.
Selang beberapa detik, ia berhasil melepas kaitan braku. Lalu kembali melumat bibirku hingga membuatku bungkam seribu bahasa. Segala makian yang sudah ku siapkan untuknya meluap begitu saja. Lidah kami saling bertautan, membuatku merasakan sensasi aneh yang belum pernah ku rasa. Sedangkan tangannya mulai menjamah kedua payudaraku, memainkannya semaunya sendiri, membuat lututku makin lemas dan kepalaku seolah meleleh hingga tidak mampu untuk berpikir jernih.
Sungguh, aku bingung bagaimana mendeskripsikannya. Aku hanya merasa bahwa sekujur tubuhku merinding dan sangat sensitif karena ulahnya. Bahkan ketika jemarinya memainkan kedua kuncup sensitif pada dadaku, tubuhku bergetar hebat dan hampir terjatuh jika saja tanganku tidak berpegangan padanya.
Melihatku yang demikian, ia terkekeh pelan. Lalu ia melepas pakaianku, hingga membuat tubuh bagian atasku terekspos.
“Wow!” ujarnya.
Dapat ku rasa deru napasnya yang berat pada dadaku, lalu lidahnya yang hangat mulai menyentuh bagian paling sensitif di bagian itu hingga membuat otakku tidak sanggup bekerja. Benar, bahkan aku sampai mengeluarkan suara-suara aneh yang memalukan. Ketika ia menghisap kuat-kuat, tubuhku serasa semakin tidak karuan. Lalu aku tidak dapat mengingat apapun lagi lebih dari ini.
“Between Us” by unatoshiru