BITTERSWEET [final story]
Nanami Kento x fem!reader cw // nsfw , rough sex , biting , angry sex , married life , explicit sexual content , fingering , pain, spanking , hair pulling , blood , body fluids , cheating , lingerie
⚠️ reading with your own risk. Not for minor.
Waktu berlalu begitu cepat kali ini. Denting-denting pada jam seputih gading yang bertengger di tembok juga mulai terdengar memuakkan hingga membuatmu merasa sedikit mual. Rasa gugup dan cemas tampaknya turut andil untuk menghukummu bersamaan dengan sang waktu yang seakan mencekikmu.
Kamu merutuki kebodohan dan kecerobohanmu yang telah salah mengirimkan pesan dengan foto sensualmu yang mengenakan lingerie putih, hadiah dari seorang pria lain yang bernama Toji Fushiguro. Alih-alih mengirimkan kepada si pemberi hadiah, kamu malah mengirimnya kepada suamimu yang kini dalam perjalanan pulang. Tidak, dia bahkan sudah tiba sekarang.
Tampaknya sang waktu benar-benar menghukummu, ia bahkan tidak ingin repot-repot memberimu kesempatan untuk memikirkan alasan-alasan logis yang mungkin saja akan ditanyakan oleh suamimu.
Suamimu, Nanami Kento, berdiri di ambang pintu kamar. Menatapmu lekat-lekat, matanya tidak berpaling sedikitpun darimu yang tengah berjalan menghampirinya. Seolah memindai setiap inci tubuhmu dan menelanjanginya hanya dengan matanya yang tampak berkilat-kilat dan setajam belati.
“Saya kira kamu udah ganti pakaian?” ujarnya yang masih saja menatapmu yang hanya berbalut lingerie putih tipis yang hampir mengekspos seluruh bagian tubuhmu.
Daripada pakaian, lingerie ini lebih cocok disebut dengan hiasan yang akan memperindah tubuh pemakainya. Hiasan yang akan mengundang mata lapar dan membakar hasrat bagi siapapun yang melihatnya. Dan kamu berharap bahwa suamimu akan terpikat dan melupakan semua kecurigaannya terhadapmu.
“Kenapa harus ganti? Aku beli ini kan buat nyenengin Mas,” jawabmu, berharap ia akan mempercayai kebohonganmu.
Dan tampaknya ia percaya, karena kedua tangannya kini sudah berada di pinggulmu. Ia ciumi bibirmu sekilas, lalu tangannya bergerak menyusuri punggung dan bokongmu. Sedangkan matanya yang sekelabu badai menatap kedua manik matamu, seakan mencari-cari kebohongan yang kamu sembunyikan rapat-rapat di dalamnya. Kebohongan yang sepahit racun mematikan namun semanis dan secandu rum dalam goblet-goblet cantik. Seberbahaya dan setajam belati yang siap menikammu, namun juga semenarik kristal-kristal indah yang berkelap-kelip. Seburuk dan seindah itu lah kebohonganmu. Atau begitulah menurutmu, seseorang yang selalu mendamba hal-hal manis yang rasanya mustahil akan kamu dapat dengan cara sederhana.
Sesederhana dirimu yang mengharap bahwa suamimu akan menaruh atensinya padamu sepulangnya ia ke rumah, bukan malah menghabiskan hampir seluruh malam-malamnya berkutat dengan kertas-kertas memuakkan di meja kerjanya atau memilih golf di hari liburnya daripada bemesraan dan bergelung manja di kasur bersamamu. Namun, sepertinya malam ini harapanmu terwujud, mata tajamnya terkunci seluruhnya padamu. Pada tubuhmu yang berbalut kebohongan tipis berwarna putih.
“Malam ini saya akan melupakan semua pekerjaan dan mengurus ini,” ujarnya sembari menepuk bokongmu yang sekal. Membuatmu memekik dan darahmu berdesir karenanya.
Ia sesap kembali bibirmu, membuatmu mabuk kepayang sebelum akhirnya ia hantam dengan sebuah pertanyaan. “Sepertinya saya harus berterima kasih juga ke temanmu itu. Omong-omong, siapa namanya?”
Jantungmu seakan melorot ke perut ketika ia tiba-tiba menanyakan itu. Darahmu yang mulanya berdesir-desir kini seolah mati dan membuat kulitmu yang tadinya memerah menjadi pucat. Menyajikan sebuah kegugupan yang sulit disembunyikan.
Ia remas bokongmu seakan menuntutmu untuk segera memberinya jawaban yang pantas.
“Teman dekatku, Mas. Kamu belum pernah ketemu dia.”
Jawabanmu barusan membuat kedua garis alisnya naik dan sudut-sudut bibirnya terangkat hingga membentuk seulas senyum pongah yang membuatmu merasa tidak nyaman.
“Kalau gitu, telpon dia. Saya mau ucapin terima kasih ke dia,” pintanya seraya mendekatkan bibirnya pada telingamu. “Sekarang, sayang.” Ia berbisik sebelum mengecup dan mengigit lembut daun telingamu.
Keringat dingin mengalir membelah punggungmu. Kepalamu mendadak pening, bingung menyikapi permintaannya yang sungguh di luar prediksimu. Dan suara dering ponsel milikmu yang tiba-tiba terdengar seakan meneriakimu untuk memperingati bahwa hal buruk akan segera terjadi.
Nanami meraih ponselmu yang tergeletak di atas nakas tidak jauh dari tempatnya berdiri. Lalu mengarahkan layarnya yang bertuliskan Toji Fushiguro ke wajahmu, “Apa ini teman yang kamu maksud, sayang?”
Napasmu tercekat. Pita suaramu seakan terikat dan sulit terurai hingga mulutmu tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun, atau barangkali kamu memang tidak berencana menjawab karena tidak ada satu pun kata yang terlintas di pikiranmu untuk menjawabnya.
“Dari diammu, sepertinya benar?” ucapnya sebelum ibu jarinya mengusap tombol hijau dan suara berat dari ujung sana terdengar.
“Halo, sayangku. Bajunya udah sampe? Pas gak ukurannya?” ujar pria dari balik telepon.
Pria bodoh, umpatmu dalam hati. Wajahmu memanas akibat menahan malu dan juga kemarahan karena sikapnya yang sangat bodoh dan sembrono. Tidak seharusnya ia menghubungimu, tidak saat Nanami Kento mencengkram erat pinggulmu.
Kamu melirik suamimu hanya untuk mendapati tatapan tajamnya yang berkilat-kilat penuh kemarahan, rahangnya yang mengeras, dan urat-urat pada lehernya sedikit menonjol. Mendadak membuat kuduk halus di kulitmu meremang.
“Sayang?” Panggil pria di seberang sana karena tidak kunjung mendengar suaramu.
Tidak ingin membuat pria di seberang sana menunggu lama, Nanami Kento angkat suara, “Terima kasih. Berkat Anda, istri saya hari ini terlihat sangat seksi saat menyambut saya pulang.”
Hening menyapa, pria diujung telepon sana tidak merespon. Barangkali terlampau kaget hingga tidak mampu menjawab sepatah kata. Sedangkan suamimu, tangannya yang bebas mulai bergerak turun dan menyelinap ke bagian paling sensitif pada tubuhmu.
“Ayo, istriku sayang, tunjukkan sopan santunmu. Beri dia ucapan terima kasih juga,” ucap Nanami yang kini tengah menggesek-gesek klitorismu dengan jari-jarinya yang panjang dan tebal. Perlakuannya yang sangat tiba-tiba ini membuatmu tidak mampu menahan lenguhan.
“Jangan buat temanmu menunggu,” ujarnya lagi. Namun kali ini kamu dapat merasakan jarinya masuk dan menekan-nekan bagian dalam vaginamu. Menciptakan sensasi merinding yang tampaknya akan membuatmu sinting.
Kamu mendesah dan mengerang beberapa kali, napasmu terasa semakin berat, patah-patah, dan panas. “Mas.. ah, terima kasih.. hadiahnya—”
“Dengar? Dia merasa sangat berterima kasih dan menikmati sentuhan saya. Seksi, kan? Tapi saya gak mau Anda dengar lebih dari ini,” potong Nanami tepat sebelum ia melempar ponsel milikmu ke tembok dengan keras hingga membuatnya pecah dan terbelah, seperti hatimu saat ini.
“Jangan!”
Matamu membelalak, tidak percaya bahwa ia akan menghancurkan ponsel pribadimu. Ponsel yang di dalamnya menyimpan banyak rahasia maupun kenangan manis yang telah bertahun-tahun menemanimu.
“Mas, kamu udah gila ya?”
Kamu hendak menghampiri ponselmu yang terbelah-belah itu, namun Nanami lebih cepat menahanmu. Ia tahan pinggulmu dengan tangannya, lalu mendorongmu hingga telentang di atas kasur. Kemudian ia melepas ikat pinggangnya dan ikatan dasinya yang seharian ini membelit tubuhnya.
Rasa takut mulai membanjirimu, lelaki itu tidak seperti sosok suami yang selama ini kamu kenal. Mata tajam yang biasanya memandang malas, kini penuh amarah dan nafsu. Nampak seperti mata predator yang menemukan mangsanya telentang tak berdaya di hadapannya.
Ia genggam rambutmu dan menariknya hanya untuk memaksamu menatap matanya yang penuh amarah, “Yang gila saya atau kamu?”
“Kamu anggap apa saya selama ini?” tanyanya.
Lidahmu kelu, namun emosimu mulai membludak sehingga air matamu turut meluap.
“Harusnya aku yang ngajuin pertanyaan itu, Mas! Apa pernah kamu menghargaiku sebagai seorang istri?” balasmu dengan suara bergetar.
“Saya nafkahi kamu. Saya gak pernah batasi kamu. Saya selalu penuhi kebutuhan kamu.”
“Tapi apa pernah kamu penuhi kebutuhan batinku, Mas? Pernah kamu luangin waktu buat ngobrol sama aku? Pernah kamu dukung aku? Pernah kamu sediakan bahu di saat aku ambruk karena merasa terpuruk dalam usahaku? Apa pernah kamu menemaniku, Mas?”
Nanami membisu, mulutnya terkatup rapat dan rahangnya mengeras.
“Gak pernah, Mas. Bahkan menghabiskan waktu berdua sama aku adalah opsimu paling akhir.”
Tangismu kian deras hingga matamu menjadi buram dan mulai terpejam untuk menahannya agar tidak terus menerus mengalir. Dan disaat bersamaan, bibirmu yang bergetar mendadak terasa hangat.
Nanami memberimu sebuah ciuman panjang. Ciuman menggebu yang bercitakan rasa manis darah, pahitnya kebohongan, dan perihnya penyesalan. Ciuman yang menyakitkan hingga kamu dapat merasakan gigi-giginya menggigiti bibirmu hingga berdarah-darah.
“Bukan berarti kamu boleh mencari laki-laki lain untuk penuhi kekosongan batinmu,” ujarnya selepas menciummu dengan kasar. Bahkan sisa-sisa darah yang mengucur dari bibirmu tampak terpoles pada bibirnya juga.
“Memangnya siapa yang bikin aku sekosong ini? Kamu sendiri, Mas!” bantahmu, tetap berusaha mendebatnya meski bibirmu terasa nyeri.
“Setidaknya kamu harus punya harga diri! Mau ditaruh di mana wajah saya kalau kolega saya tau istri saya main api dengan laki-laki lain?”
Tangannya masih menggenggam rambutmu, kali ini tarikannya makin kuat hingga rasanya kulit kepalamu akan terlepas. “Sudah sejauh apa hubungan kalian?”
Nanami menatapmu dengan hina, sedangkan kamu memandanginya dengan tatapan menghamba. Air matamu kembali mengucur dan tenggorokanmu tercekat. Sebagian dirimu tahu bahwa hubunganmu dengan Toji adalah sebuah kesalahan. Namun sebagian yang lain merasa bahwa suamimu turut andil di dalamnya. Jika saja ia memperlakukanmu dengan baik dan menunjukkan rasa sayangnya kepadamu, tidak akan ada Toji dalam rumah tangga kalian. Benar-benar hina, bahkan di saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan Toji. Membayangkan dirinya akan menggila melihatmu diperlakukan seperti ini. Mendekapmu lalu membawamu pergi.
“Apa gigitan ini membuatmu bisu?” tanyanya sembari mengelap darah yang menetes dari bibirmu dengan ibu jarinya.
Kemudian ia dekatkan bibirnya tepat ke telingamu dan berbisik, “Baik, saya akan cek sendiri.”
Ia gigit daun telingamu, lalu bibirnya merayap turun dan berhenti di lehermu. “Apa dia melakukan ini?” tanyanya sebelum bibirnya mengecup dan lidahnya menjilati lehermu, kemudian ia tutup dengan gigitan yang keras hingga membuatmu memekik.
“Hngghh... Mas, sakit...” keluhmu yang tentu saja tidak ia hiraukan. Alih-alih berhenti, ia malah semakin banyak meninggalkan jejak-jejak kepemilikannya dan bekas-bekas gigitan sepanjang leher hingga turun ke bukit kembarmu.
Ia pilin-pilin salah satu ujungnya yang sudah mengeras dengan sebelah tangannya, dan salah satu ujungnya yang lain ia hisap dan lumati dengan mulutnya yang hangat, lalu mengakhirinya dengan gigitan yang lagi-lagi membuatmu menjerit. Sedangkan tangannya yang lain sibuk di bawah sana, jari-jarinya yang tebal dan panjang bergerak-gerak dan menekan-nekan bagian dalam liang vaginamu sembari menggesek-gesek klitorismu dengan jarinya.
“Oh? Dia juga melakukan ini?” tanyanya.
“Mas.. nggak— hhngghh.. Mas..” rintihmu dengan suara patah-patah sembari memegangi kedua lengannya, berharap ia akan berhenti.
Namun, sayangnya ia malah mengikat kedua tanganmu dengan dasi yang semula ia pakai, lalu menahan lenganmu diatas kepalamu. Kemudian ia jejalkan miliknya yang sudah berereksi ke dalam lubang senggamamu dengan kasar.
“Sial! Benar-benar menjijikkan!” umpatnya sembari menyodok bagian terdalam liang kewanitaanmu.
Pikiranmu saat ini sama kacaunya dengan penampilanmu saat ini. Tubuh penuh dengan keringat dan mani, wajah memerah dengan air mata yang masih membanjiri dan sedikit darah yang masih merembes keluar dari bekas gigitan suamimu tepat pada bagian bawah bibirmu dan beberapa bagian di leher dan bahumu. Bahkan lingerie putih yang semula membalut tubuhmu dengan rapih, kini benar-benar tampak seperti sampah. Beberapa bagiannya telah robek dan merosot hingga menampilkan tubuhmu yang tampak elok di bawah sorotan lampu yang temaram.
Dulu, berkali-kali dirimu mendamba suamimu akan menggagahimu semalaman suntuk dengan penuh cinta dan kenikmatan. Namun, kali ini yang kamu rasakan hanyalah perlakuan yang didominasi dengan rasa sakit dibanding rasa nikmat. Tanpa cinta, melainkan amarah.
“Mas.. stop— nghh... Mas..”
Nanami membisu. Alih-alih berhenti, ia malah mengubah posisimu yang semula telentang menjadi telungkup dan kembali menyodok.
Tubuhmu menggelinjang hebat. Sensasi gila ketika kedua payudaramu yang sensitif bergesekan dengan sprei lembut yang basah dan lubang vaginamu yang dijajahi dengan rakus oleh daging tebal yang berkedut milik suamimu secara bersamaan benar-benar membuatmu hilang akal.
Berkali-kali kamu memohon ampun, dan berkali-kali pula ia tampar bokongmu yang sudah memar. Ia bahkan tetap menusuk kewanitaanmu dengan penisnya yang tampak begitu kokoh dan membesar seiring desah dan rintihmu keluar, meski tubuhmu melemas usai mencapai klimaks beberapa kali dan menjadi semakin sensitif.
“Saya gak akan berhenti sebelum puas hukum kamu,” ujarnya sembari menampar bokongmu. Kali ini lebih keras dari yang sebelumnya.
“Mas.. hngggh.. udah.. maaf—nghhh.. mau pipis..” racaumu susah payah.
Tentu saja, Nanami tidak mengindahkan permintaanmu. Sepertinya ia juga tidak ambil pusing jika kamu benar-benar melakukannya. Sebab, kasur yang kini kalian tempati sudah kotor dengan cairan lengket milikmu dan Nanami yang sudah menyatu. Jadi, pikirnya tidak masalah jika dikotori dengan yang lain lagi.
Tubuhmu mulai meronta, sedangkan Nanami menahanmu dengan cara mengalungkan lengannya yang kekar di lehermu. Tidak hanya membuatmu kesulitan bergerak, namun juga membuat kesulitan bernapas. Lalu ia gigiti bahumu dan remas payudaramu kuat-kuat dengan tangannya yang lain seiring makin cepatnya tempo hujaman penisnya pada vaginamu. Geraman dan erangan terlontar darinya bersamaan dengan rasa hangat yang memenuhi lubang senggamamu dan keluarnya air kencing yang tidak lagi mampu kamu tahan.
Seketika tubuhmu terkulai lemas usai ia cabut penisnya darimu, meski tampaknya vaginamu masih bergerak ritmis dan enggan ditinggalkan olehnya. Kepalamu seolah melayang-layang, matamu juga masih mengabur akibat terlalu banyak air mata yang mencelos keluar. Kamu hanya bisa pasrah ketika Nanami membebaskan tubuhmu dari lingerie yang masih membelit dengan merobeknya.
Kata gila tampaknya kurang tepat untuk menggambarkannya, mungkin kata monster terdengar lebih cocok untuknya pada saat ini.
Ia miringkan tubuhmu, lalu mengangkat pahamu lebih tinggi. Kemudian ia jejali vaginamu dengan penisnya. Suaramu yang kian melemah memohonnya untuk berhenti benar-benar tidak ia gubris.Tanganmu bahkan tidak mampu lagi menggenggam kain sprei yang sudah basah itu.
Melihatmu yang kepayahan, tangan kekarnya menggerayangi payudaramu. Ia usap beberapa kali sebelum mencubit kuat-kuat pucuknya. Kemudian ia condongkan kepalanya untuk berbisik, “Saya akan berhenti kalau kamu setuju untuk berhenti bekerja.”
Sungguh pria yang culas. Penisnya terus menusuk kewanitaanmu dengan tempo lebih cepat, tangannya yang sebelah menampar-nampar bokongmu yang rasanya sudah hampir kebas saking memarnya, sedangkan tangannya yang lain mencubit dan menarik-narik puting payudaramu. Ia jelas-jelas memaksamu untuk setuju dengan apapun yang ia mau.
“Apa jawabanmu?” tanyanya dengan napas tersengal dan suara yang dalam.
Kamu melenguh dan merintih, mati-matian berusaha mengucapkan sepatah kata. Otakmu kali ini rasanya benar-benar tumpul sehingga tidak mampu memikirkan kata selain iya.
“Iyahh.. mas—ngghh.. udah.. stophh..”
Seulas senyum terukir di bibirnya sebelum ia lumati bibirmu. Lalu tangannya kembali meremas-remas gundukan kenyal di dadamu yang licin.
“Sayangku.. itu jawaban yang bagus,” ujarnya bersamaan dengan mengucurnya cairan hangat miliknya yang lagi-lagi memenuhi vaginamu.
Nanami sama lemasnya denganmu. Tubuhnya limbung menindihmu, deru napasnya yang hangat dan patah-patah menggelitik lehermu. Kamu tidak bergeming, kelelahan yang amat dahsyat membuat matamu perlahan terpejam, tidak lagi peduli bahwa ia memelukmu begitu erat dan intim, tanpa terhalang oleh sehelai benang pun.
“Saya sayang kamu..” bisiknya yang masih samar-samar terdengar olehmu yang mulai terlelap.
Lalu dengan sisa-sisa tenaganya, ia angkat tubuhmu dan membawamu dalam gendongannya menuju kamar tamu untuk beristirahat. Tentu, ia tidak akan membiarkanmu tertidur di atas kasur yang basah kuyup dengan bermacam-macam cairan kotor. Bahkan dia sendiri pun tidak sudi tertidur di atasnya. Perihal kasur, ponselmu yang rusak, dan perusahaan yang kamu rintis akan ia urus besok. Malam ini ia ingin habiskan waktunya untukmu, memelukmu erat agar kamu dapat melupakan laki-laki kurang ajar bernama Toji Fushiguro itu.
BITTERSWEET [final story] ©️unatoshiru