Burnout
— Painter Suguru Geto x fem!reader 🔞
📝 2,042 words ⚠️ explicit sexual content, harsh words, adult language, not safe for work, nipple play, nipple teasing, breastfeeding, hand job, vaginal sex, raw sex, sex with consent, body fluids, squirting, etc (possible kink exploration)
Aroma cat begitu kentara ketika kamu memasuki studio dengan luas sedang milik Suguru. Sekeliling tembok dipenuhi pajangan berupa lukisan-lukisan cantik yang seluruhnya menyajikan keindahan alam atau hiruk pikuk perkotaan, tampaknya sang pelukis hanya ingin menggoreskan kuasnya untuk menyimpan pemandangan cantik yang ia lihat di atas kanvas putih.
Matamu terpaku pada salah satu lukisan berukuran agak besar yang dipajang di tengah-tengah dinding kosong. Seorang gadis cantik bermahkotakan untaian bunga warna warni tengah tersenyum riang dengan tiga ekor kolibri yang terbang di sebelahnya, berwarna hitam, putih, dan cokelat.
Kamu menoleh ke arah Suguru yang berdiri di belakangmu, seolah memintanya untuk menjelaskan makna dibalik lukisan cantik yang ada di hadapanmu.
Suguru menorehkan senyum di wajahnya, terlampau indah untuk kamu abaikan hingga debaran jantungmu sempat terhenti karenanya. Jemari panjanganya mulai menunjuk satu persatu burung kolibri dengan warna-warna yang berbeda itu, “Ini aku, Satoru, Shoko.”
Suguru kembali bicara ketika jarimu menunjuk sosok wanita cantik dengan senyum sumringah yang membuat hatimu berdebar dan wajahmu memanas, “Cantik, ya?”
“Itu aku?” tanyamu memastikan.
Suguru mengangguk, “Aku udah lama mau nunjukin ke kamu, tapi belum sempet.” Seulas senyum terpatri di wajah letihnya, kentara sekali bahwa jam tidurnya sangat berantakan hingga membuat kantung matanya terlihat jelas.
Campur aduk, hatimu menghangat karena merasa Suguru begitu sayangnya kepadamu hingga mengabadikan dirimu dalam sebuah lukisan indah. Kamu sedikit salah tingkah dibuatnya, sehingga alih-alih memujinya, kalimat yang terlontar dari mulutmu adalah, “Emang aku secantik itu ya?”
Tidak lantas menjawab, Suguru berjalan mendekati lukisan itu. Tangannya mulai bersedekap dan memasang wajah serius seolah-olah tengah berpikir keras untuk mencari letak perbedaan antara sosokmu yang nyata dengan yang ada dalam lukisannya. “Udah lima menit aku lihatin, tapi kayaknya gak ada bedanya.”
“Kamu emang secantik itu di mataku,” sambung Suguru.
Hubunganmu dengan Suguru sudah berjalan lebih dari dua tahun, dan sekarang, hatimu masih tetap berdebar-debar tidak karuan setiap kali mendengarnya memujimu seperti itu. Kamu akan selalu seperti anak remaja yang sedang kasmaran ketika bersamanya. Seperti gadis yang pertama kali merasakan jatuh cinta begitu hebatnya pada jumpa pertama.
“Idih, gombal mulu,” balasmu, sedikit salah tingkah.
Suguru hanya meringis, lalu berjalan melewatimu menuju sudut ruangan dan merapikan kuas-kuas lukisnya yang berada di atas meja kayu berukuran sedang. Tampaknya ia telah mencuci semua kuas dengan berbagai macam ukuran itu dan merapikan studio lukisnya sebelum pergi menjemputmu.
“Kamu yakin gak mau ke luar aja? Di sini bosen banget, loh. Gak ada apa-apa,” tanya Suguru yang skeptis dengan pilihanmu yang ingin berkencan di studio lukisnya alih-alih pergi ke tempat-tempat seru dan romantis. Terlebih, seperti yang ia katakan, di sana tidak ada apapun selain kanvas seputih gading, botol-botol gemuk berisikan cairan pewarna, tatakan kayu yang berdiri di beberapa sisi, lukisan-lukisan yang bersemangat ingin menyampaikan kisahnya setiap kali matamu memandang, serta dua genggam kuas lukis yang baru saja Suguru rapikan dan ia letakkan di bagian pinggir meja.
“Aku tau kamu lagi sibuk, kak. Aku mau nemenin kamu ngelukis aja di sini,” ujarmu lalu duduk di pinggir sofa dan mengambil bantal yang kamu posisikan di atas pahamu.
Suguru menyusulmu duduk, lalu ia merebahkan tubuhnya dan memposisikan kepalanya di atas bantal yang berada di pahamu sembari menampilkan senyum memikatnya, “Aku mau santai.”
Tanganmu menyusuri wajah lelahnya dan sesekali merapihkan anak-anak rambut yang menutupi dahinya. Suguru memejamkan matanya seolah tengah menikmati setiap sentuhanmu yang mungkin saja mampu menyembuhkan rasa letihnya.
Seulas senyum tertoreh di bibirmu kala memandanginya yang tampak damai bersantai di pahamu, membuatmu tidak mampu menahan diri untuk tidak mengecup bibirnya dan membuatnya kembali terjaga hingga bibir dan lidahnya membalas kecupanmu itu dengan liarnya. Bahkan tangannya menahan tengkukmu agar kamu tidak cepat-cepat melepas ciuman itu meski paru-parumu sudah mulai terasa sesak karena minimnya pasokan oksigen di dalamnya.
Napasmu tersengal-sengal, begitu pula Suguru yang dadanya naik turun dengan tempo yang cepat seolah tengah berusaha memompa masuk udara ke dalam paru-parunya. Namun, ia tampak belum puas hingga lagi-lagi tangannya menekan tengkukmu dan bibir basahnya kembali memagut bibirmu. Bahkan kini tangannya mulai menyusup ke dalam kaos yang tengah kamu kenakan, menyusuri punggungmu yang sedikit membungkuk, dan membuatmu makin terhanyut dalam ciuman memabukkan itu.
Denyar aneh seperti sengatan listrik membuatmu merinding ketika gumpalan kenyal di dadamu ia remas-remas sebelum menyibak kaos yang kamu kenakan hingga menampilkan kedua buah dadamu yang masih berbalut bra. Dengan terampil ia turunkan kedua tali tipis yang bertengger di bahumu, lalu ia turunkan bra yang kamu kenakan dan membuah dua bongkahan kenyal itu menggantung indah di depan matanya.
Lenguhan dan desahan mencelos keluar dari mulutmu yang basah oleh saliva usai Suguru melepaskan ciumannya dan beralih memberikan afeksi pada gumpalan lemak yang ujungnya sudah menguncup malu-malu di hadapannya.
“Kak.. kak.. aku napas dulu,” ujarmu berusaha menahannya.
“Kamu kan napasnya pake hidung, bukan tetek,” jawab Suguru enteng. Agak menyebalkan memang, tapi ucapannya tidak ada yang salah.
Napasmu kian memburu ketika lidah hangatnya membelai areola dan putingmu hingga menguncup dan mengeras. Sedangkan tangannya sibuk dengan membelai, menggesek, memilin, dan mencubiti putingmu yang berada di sisi sebelah.
“Keliatannya kecil, tapi mantep juga, Yang,” komentar Suguru yang mulutnya masih sibuk menjilati putingmu yang merona.
Matamu menangkap basah miliknya yang sudah membesar hingga terlihat begitu menonjol seolah-olah ingin merobek celana bahan berwarna hitam yang tengah Suguru kenakan. Membuatmu berbaik hati memberikannya sebuah kebebasan hingga kejantanannya itu mampu berdiri tegak—tidak sepenuhnya, karena agak sedikit melengkung— dan menampilkan denyut-denyut bahagia ketika tanganmu menyentuhnya.
“Punyamu juga mantep, Kak,” balasmu dengan komentar singkat yang mampu membuat telinganya memerah menahan malu.
Tanganmu bergerak lihai melayani kejantanannya layaknya seorang bartender yang tengah mencampurkan beberapa macam bahan dengan mengocoknya untuk menyajikan koktail segar yang menggelitik lidah. Tampaknya Suguru benar-benar menikmatinya hingga kuluman dan hisapan mulutnya pada payudaramu terasa semakin menjadi-jadi.
“Kak.. jangan kenceng-kenceng,” ujarmu di sela-sela desahmu. Namun Suguru malah semakin kuat menghisap puting susumu dan menarik sisi sebelahnya seiring dengan keluarnya cairan kental hangat yang menyembur dari penisnya hingga membasahi tanganmu.
Suguru bangkit dan membantumu melepaskan kaos yang kamu kenakan, menyisakan bra yang kini sudah merosot hingga ke perut. Lalu, dengan jahil kamu memintanya untuk melepasnya yang tentu saja ia lakukan dengan sukarela.
“Kamu juga lepas bajunya, biar impas,” titahmu. Namun, bukannya mengiyakan, ia malah menelengkan kepalanya seolah ia tengah menimang-nimang titahmu barusan.
“Aku mau cari inspirasi dulu lewat kamu,” jawab Suguru yang telah melepaskan bawahan yang tengah kamu kenakan hingga membuatmu telanjang sepenuhnya di atas sofa berwarna kelabu miliknya. Benar-benar berbanding terbalik dengannya yang masih mengenakan pakaian lengkap, bahkan ia sudah kembali membenarkan posisi celananya.
Suguru membungkuk, jemarinya menangkup rahangmu lalu meraup bibirmu yang warnanya beberapa tingkat lebih merah akibat ia ciumi beberapa saat lalu. Sebelah kakinya naik ke atas sofa dengan lutut menumpu tubuhnya kala memperdalam ciumannya hingga membuat punggung telanjangmu menempel pada sandaran sofa. Napasmu terengah namun kamu membiarkannya menjarah bibir dan lidahmu hingga kepala dan tubuhmu seolah melebur karenanya.
Kedut makin terasa seakan-akan otot pada vaginamu tengah memompa keluar cairan kental hingga membuat pangkal pahamu basah dan licin akibat afeksi gila yang ia berikan pada mulut dan juga payudaramu tadi. Suguru menjilati ujung bibirnya usai ia lepaskan ciumannya, tampak begitu menikmati sajian yang baru saja ia sesapi dengan laparnya.
Kamu memperbaiki posisi dudukmu dengan tangan gemetar sebelum Suguru kembali mengunci mata sipitnya pada tubuhmu yang tampak sedikit berkilau akibat lembab oleh keringat dan bias cahaya lampu temaram yang hanya Suguru nyalakan di beberapa bagian saja dalam studionya. Kuas lukis bergagang cokelat tua dengan bulu-bulu halus berwarna kekuningan sudah berada di tangannya, tidak mengira bahwa ia akan benar-benar melukis dengan tubuh telanjangmu sebagai modelnya.
Namun, ia tidak mengambil kanvas yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari posisinya berdiri. Suguru langsung menyapukan kuasnya pada garis rahangmu dengan gerakan lembut, lalu bergeser ke telinga hingga membuat kepalamu merinding menahan geli yang aneh. Geli yang membuat perutmu berjumpalitan dan jantungmu seperti merosot alih-alih membuatmu tertawa terbahak-bahak.
“Geli, kak,” cicitmu dengan suara bergetar akibat rasa geli yang membuatmu meliuk ingin menghindar.
“Hm?” Alih-alih menenangkan, ia hanya membalasmu dengan gumaman seakan-akan ia benar-benar tengah fokus menghapalkan bentuk, tekstur, dan warna dari setiap bagian tubuhmu dengan sapuan kuasnya.
Jika seseorang mencoba memeriksa denyut jantungmu pada saat ini menggunakan stetoskop, orang itu pasti akan terlonjak dari kursinya. Sungguh, debaran jantungmu kian menggila hingga membuatmu kesulitan bernapas, bahkan rongga dadamu terlihat naik turun tidak beraturan seperti tengah mencari limpahan udara ketika Suguru mulai menyapukan kuasnya turun perlahan-lahan menuju dadamu.
Geli. Rasanya benar-benar geli ketika bulu-bulu halus pada ujung kuas itu ia sapukan melingkar di sekeliling gundukan kenyal di dadamu, lalu perlahan-lahan bergerak memutar dan terfokus pada putingmu yang sudah berereksi.
“Kak.. jangan,” ujarmu sembari menahan tangannya dengan susah payah sebab tubuhmu sudah bergetar hebat menahan geli dan sensasi seperti sengatan listrik yang menjalar dari kepala hingga ujung kakimu.
“Jangan apa? Jangan berhenti?” balasnya yang terdengar sangat usil.
Suguru beralih dari payudaramu yang sebelah kanan ke sisi sebelahnya. Dengan telaten ia sapukan kuasnya pada gundukan itu dan memfokuskannya pada titik tengah yang sudah menguncup. Terlebih keringat yang mengembun membuat bulu-bulu halus pada kuasnya itu menjadi sedikit padat hingga menambah stimulasinya ketika bersentuhan dengan putingmu yang menjadi sangat sensitif ketika berereksi. Bahkan, tubuhmu seolah tidak lagi mampu menahan diri untuk menggeliat dan beberapa kali mengangkat pinggulmu di hadapannya.
“Kenapa, Sayang? Hm?” tanya Suguru yang makin liar memoles kedua putingmu dengan kuas yang ia pegang.
Entah mengapa suhu di dalam ruangan itu lambat laun menjadi panas, bahkan Suguru sendiri pun dahinya mulai tampak berkelip oleh keringat. Ah, sepertinya bukan suhu dalam ruangan yang meningkat, sebab AC di dalam sana telah Suguru nyalakan sebelumnya. Melainkan tubuhmu sendiri dan Suguru lah yang sama-sama mulai memanas akibat permainan gila yang entah akan berlangsung sampai kapan.
Kamu benar-benar tidak sanggup menjawab sepatah dua patah kata, mulutmu hanya mampu meracau dan mendesah tiap kali kuasnya membelai putingmu lalu turun menyusuri perut, pusar, lalu berakhir pada klitorismu hingga membuatmu memuncratkan cairan bening tanpa sengaja.
Suguru menggesek-gesek klitorismu dengan kecepatan berbeda-beda menggunakan kuasnya hingga membuat tubuhmu menggelinjang hebat dan cairan bening membanjiri sofa miliknya. Tubuhmu mulai melemas, namun sebagian dalam dirimu inginkan lebih dari sekadar belaian gila dari bulu-bulu kuas miliknya yang rasanya seolah-olah tengah menyiksamu alih-alih memanjakan.
“Kak..” cicitmu.
“Hm?” balasnya dengan gumaman.
“Please... just fuck me already..” ujarmu dengan suara lemah namun begitu menggelitik dan menggoda kejantanan pria itu.
“Finally you're begging for it,” bisiknya sebelum ia lepas celananya dan menyodok vaginamu yang sudah benar-benar basah dan mendamba kehadiran penis padat miliknya itu.
Suguru menahan pinggulmu dengan kedua tangan besarnya, membantumu agar tidak kewalahan dengan tempo sodokannya yang menggila seolah-olah ia baru saja menemukan oasis ketika tersesat di tengah padang pasir yang tandus. Sedangkan kedua tanganmu tampak tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menyusup ke dalam kaos hitam polos miliknya, menyusuri punggung dan juga otot-otot padat pada perut serta dadanya.
Rona wajah sang pria benar-benar membuatmu makin mabuk kepayang. Ia bahkan menyuguhkan senyum paling menawan ketika ia menghujammu dengan penisnya yang terasa makin sesak di dalam lubang senggamamu.
Lenguhan, racauan, serta desahan terdengar menggema memenuhi penjuru ruangan layaknya lantunan musik yang menyemarakkan suasana malam hari yang sepi. Suguru memejamkan matanya, rona pada wajah dan telinganya makin terlihat memerah, mulutnya terkatup rapat hingga rahangnya terlihat begitu tegas ketika tanganmu memainkan dadanya dan menekan-nekan puting kecilnya yang mengeras seperti penisnya di bawah sana.
Pekikan mulai meluncur dari mulutmu ketika ia membalasnya. Tangannya bergerak naik menuju dadamu, meremas-remasnya, lalu memilin, mencubit, dan menarik puting susumu di tengah-tengah sodokannya yang masih membombardir kewanitaanmu dengan penisnya hingga membuat tubuhmu mengejang dan gemetar. Ia benar-benar tidak mau kalah darimu. Ia bahkan menghadiahimu dengan semburan sperma di atas dada dan perutmu setelah ia capai klimaks.
“Sekali lagi, Yang,” bisik Suguru sembari meraih pinggulmu yang sudah melemas.
Omong kosong. Tidak mungkin ia akan berhenti sebelum tubuhnya kelelahan hingga tidak mampu berdiri tegak. Ia akan terus menghujam vaginamu sepanjang penisnya masih mampu berdiri, tidak peduli bahwa nantinya air kencing yang akan keluar alih-alih sperma kental dengan aroma khas yang membuatmu pusing namun candu.
“Tau gini... kita ke hotel...” cicitmu yang terkulai lemah.
“Siapa tadi, yang ngide mau kesini?” balas Suguru dengan napas tersengal, mulai kelelahan.
“Siapa juga... yang kepikiran... bakal dientot?” sahutmu yang menuai kekehan darinya, mengingat kamu benar-benar pergi ke studionya tanpa mempersiapkan apa pun. Naif memang jika berpikir hanya akan berbincang dan makan bersama dengannya.
Bahkan, tadi pun kamu memilih pakaian dalam secara asal. Alih-alih memilih bra dan celana dalam yang seksi dan memikat, kamu memakai bra dan celana dalam yang warnanya benar-benar tidak serasi satu sama lain. Walau sebenarnya Suguru tidak peduli-peduli amat. Toh, nantinya kamu pasti akan ia telanjangi.
©️ unatoshiru