Our Secret


Toji Fushiguro x fem!reader ⚠️ cw // backstreet, secret relationship, age gap, nsfw


Aku tahu, aku memang sedikit kurang ajar disini. Sudah menginap di rumah teman dekatku, sekarang perutku malah meronta ingin diisi semangkuk mie kuah hangat di tengah malam seperti ini.

Tsumiki tertidur pulas setelah seharian ia sibuk bekerja bagai pekerja romusha. Sudah ku bilang berkali-kali untuk mencari pekerjaan baru di perusahaan lain, ia malah balik menyerangku dengan kata-kata, “Lu juga ngapain kerja pontang panting di perusahaan kayak gitu? Ngelah ngeluh tau-tau udah 12 tahun!”. Aku kesal mendengarnya, aku baru genap 2 tahun! Bukan 12 tahun! Kata-katanya sangat kejam seolah ia ingin mengutukku untuk bekerja 12 tahun di perusahaan gila itu.

Baik perusahaan yang Tsumiki tempati maupun yang aku tempati, sama-sama tengah membuka lowongan baru. Tapi beruntungnya kami masih waras, kami lebih baik mencari perusahaan lain. Bukannya ingin menjelekkan, tapi memang begitu.

Memikirkan hidup yang kian sulit ini membuatku meneteskan air mata. Bodoh sekali aku, mengucek mata dengan jari yang terkena cipratan minyak cabai saat menyiapkan bumbu-bumbu tadi. Aku pun bergegas mencuci tangan dan mataku yang terasa perih. Tidak, tepatnya aku mencuci wajahku di washtafel.

Saat ku pikir semuanya sudah tertidur lelap, ayah tiri dari temanku itu, Toji Fushiguro dengan santainya berjalan menuju kulkas yang berada di dapur berukuran sedang ini tanpa mengenakan atasan.

Aku tidak tahu, Tuhan sedang memberiku ujian atau hadiah. Yang jelas debaran jantungku menjadi tidak karuan, wajahku memanas, dan tanganku sedikit gemetar. Entah aku merasa takut atau aku salah tingkah di hadapannya.

Mataku masih terpaku pada tubuh kokohnya yang ototnya terbentuk dengan sempurna. Ia pasti mampu menggendongku hanya dengan sebelah tangannya.

Oh, lihatlah! Bahkan air yang ia minum tampak mendukungku. Ketika ia tengah menenggak air dari botol, ada sebagian air yang mengalir turun melewati lehernya, dada bidangnya, hingga perutnya yang tampak seperti pahatan seniman Maha Kuasa.

Aku menelan ludahku seolah itu sebuah insting yang normal dilakukan ketika melihat orang yang dicintai tampak begitu menggoda di depan mata.

Toji berpaling, matanya yang tajam berwarna zamrud menatapku. Senyuman mengembang seolah tengah menggoda dan merayuku.

Aku masih bergeming walau wajah dan tubuhku memanas, dan jantungku menggebu-gebu melihatnya merentangkan tangan seakan menantiku untuk menghambur dalam dekapannya yang sangat hangat dan menenangkan.

“Gak kangen?” godanya.

Persetan dengan akal sehat dan rasa malu, aku benar-benar ingin tenggelam dalam pelukannya yang sangat ku dambakan selama seminggu ini.

“Kangen banget,” cicitku dalam pelukannya.

“Katanya mau tidur?” tanyanya seiring tangannya menarik tubuhku lebih rapat dengannya.

“Gak bisa tidur, laper.”

Aku mendengar ia terkekeh pelan, sebelah tangannya bergerak mengelus rambutku dengan lembut sedangkan sebelahnya lagi masih memegangi pinggangku dengan posesif.

Degup jantungnya terdengar bertalu-talu ketika kepalaku menyandar pada dada bidangnya yang tidak terhalang satu helai benang pun. Jika aku dapat mendengarnya, bukan tidak mungkin dia juga dapat merasakan debaran jantungku yang berjumpalitan kita tangannya mulai bergerak seenaknya menjamah tubuhku.

“Hm?”

Ia bergumam sebelum mengatakan hal-hal jail yang dapat memprovokasiku.

“Nakal banget kamu ya. Nginep di rumah laki-laki gak pakai daleman,” ujarnya sambil meremas-remas gundukan kenyal di bawah sana.

Sungguh, aku tidak bermaksud menggodanya. Aku benar-benar tidak membawa baju ganti ketika datang ke rumah Tsumiki dalam keadaan basah kuyup karena hujan, bahkan aku sama sekali tidak berencana untuk menginap kalau saja Tsumiki tidak memaksaku.

Toji melepaskan pelukannya, namun mata tajamnya kini tertumpu pada bibirku. Perlahan ia mulai menghapus jarak antara bibir kami, membuatku secara naluriah memejamkan mata.

Aku dapat merasakan lidahnya yang hangat bergerak-gerak membasahi bibirku, membuat perutku terasa melilit-lilit dan darahku berdesir-desir karenanya.

Tepat ketika aku membuka mata, ia menggigit bibir bagian bawahku dengan lembut. Kemudian ia melumat bibirku, lidahnya yang hangat dan tebal turut meliuk-liuk seakan tengah membimbingku untuk berdansa.

Sebelah tangannya mulai menopang kepalaku, membuat ciuman kami kian berapi-api hingga tanganku secara naluriah mengalung di tengkuknya dan tangannya yang satu lagi merengkuh pinggangku agar tubuhku tidak merosot.

Entah berapa menit telah berlalu, kami masih berciuman. Sepertinya tidak akan ada rasa cukup untuk ini. Berciuman dengannya malah membuatku menginginkan hal yang lebih.

Ia melepaskan ciuman kami, membiarkan paru-paruku menghirup oksigen. Ia masih menopangku dengan sebelah tangannya yang kokoh, seolah tahu bahwa aku akan luruh kapan saja jika ia melepasku. Namun, tangannya yang lain meraba dadaku yang masih berbalut kaos oversize milik Tsumiki yang ku pinjam dengan jarinya.

“Benar-benar nakal..” ujarnya sembari menggerakkan ujung jarinya memutari ujung dadaku yang sangat sensitif itu

Sekujur tubuhku rasanya merinding, padahal ia tidak menyentuhku secara langsung. Tapi hal ini sudah membuat tubuhku menggila.

Ia mulai menghimpitku diantara kulkas, memudahkannya untuk menyibak kaos yang ku kenakan hingga menampilkan dua gundukan kenyal yang sangat sensitif terhadap sentuhannya. Tidak, sepertinya seluruh bagian tubuhku bereaksi demikian terhadapnya.

“O-om mau apa?” tanyaku terbata-bata.

“Ngasih hadiah buat pacar om yang nakal ini,” jawabnya sembari mencubit putingku yang sudah mengeras.

“Aku gak nakal! Aww—” aku memekik pelan ketika ia menarik sebelah putingku dan memainkan yang lainnya.

Aku dapat merasakan napas beratnya di payudaraku, lalu lidahnya yang hangat mulai menjelajah dengan liarnya. Membuat tubuhku bergetar-getar karenanya.

“Om, jangan.. nanti Tsumiki.. Megumi.. lihat..” ujarku susah payah dengan napas tersengal-sengal.

Kini lidahnya memainkan puting kiriku, dan yang bagian kanan ia mainkan dengan jemarinya.

“Hm?” gumamnya lalu meracau dengan mulutnya yang masih memainkan putingku, namun dapat ku tangkap kurang lebih ia berkata, “Tenang aja, mereka tidur.”

Sejujurnya aku tidak bisa tenang dalam situasi ini. Bagaimana jika Tsumiki terbangun dan menyusulku ke dapur ketika ia menyadari bahwa aku tidak ada di kamarnya? Tamat sudah pertemanan kami jika ia melihatku tengah bercinta dengan ayah tirinya di dalam rumahnya sendiri.

Namun entah mengapa tubuhku seolah tidak sejalan dengan keinginanku. Tubuhku memanas, bergetar kegirangan, dan bahkan mulutku mengeluarkan suara-suara memalukan setiap kali ia menjamahku.

Mulutnya masih sibuk memberikan atensi pada payudaraku, sedangkan tangannya mulai turut memberkan perhatian lebih pada bagian bawah tubuhku yang sudah berkedut.

“Basah banget, sayang.” komentarnya, lalu menjejalkan jemarinya yang tebal ke dalam lubang yang berkedut-kedut itu.

Aku mengabaikan komentarnya, tubuhku merinding dan bergetar makin hebat. Sepertinya lagi-lagi aku mengeluarkan cairan kental itu, namun kali ini mengenai tangannya.

Toji tersenyum simpul sebelum menjilat tangannya yang basah, lalu ia menurunkan celana warna kelabu miliknya hingga menampilkan bagian tubuhnya yang sudah menegang hebat hinggal menampilkan urat-uratnya.

Pipiku merona ketika berpikir bahwa aku lah yang membuatnya menegang seperti itu.

Napasnya memburu, begitu pula dengan napasku. Mata zamrudnya berkilat-kilat menatapku penuh nafsu. Tangannya memegangi pinggangku seakan memberiku kekuatan tambahan agar tidak tumbang untuk beberapa saat nanti.

“Jangan tegang, sayang.” Ucapnya ketika miliknya yang besar itu berusaha menerobos masuk lubang kecil milikku. Suaranya yang sedalam samudra membuatku mabuk kepayang sehingga aku sendiri sulit mengontrol tubuhku.

Aku mencengkram erat-erat kedua tangan kekarnya yang masih memegangi pinggangku. Sungguh, sampai saat ini pun aku masih belum terbiasa dengan miliknya yang berukuran begitu besar.

Tubuhku berjingkat ketika miliknya berhasil masuk sepenuhnya, memberikan sensasi aneh yang sulit ku diskripsikan. Rasanya perih namun nikmat disaat bersamaan. Sedangkan Toji terdengar mengerang lirih seakan tengah melakukan selebrasi atas apa yang ia lakukan.

Ia ciumi leherku yang sudah banjir keringat. Napasnya yang berat menyapu kulit leherku, membuat tubuhku merinding dan geli. Ia sengaja memberiku jeda beberapa menit untuk area genitalku menyesuaikan diri dengan miliknya, semata-mata agar bagian sensitif itu tidak sakit dan luka. Ia selalu ingin membuatku merasa nikmat sama sepertinya ketika melakukannya.

Aku dapat merasakan gigi-giginya menggores leherku, kemudian menjilatinya, lalu mengecupnya.

Kepalaku rasanya mendadak tumpul, aku tidak peduli jika ia akan meninggilkan jejak di leherku lalu Tsumiki melihatnya dan mencurigaiku. Yang ku inginkan saat ini hanyalah dia, Toji seorang.

“Om.. hngh– om Toji..” kata-kata yang keluar dari mulutku serupa desahan yang membuatnya semakin menggebu-gebu kala mendengarnya.

Toji mulai memaju-mundur-kan pinggulnya secara perlahan-lahan, dan tubuhku mulai menggeliat dalam rengkuhannya.

Tubuhku terasa seringan kapas, Toji dengan mudahnya mengangkatku dengan kedua tangannya dan memegangiku erat seakan aku akan hilang terbawa angin jika ia lepaskan. Tanganku yang semula memegang tangannya, kini mulai mengalung di tengkuknya.

Ia menciumi bibirku, lidah kami beradu seakan tengah berdansa di dalam ballroom yang mewah beralaskan karpet merah lembut, dan dada kami yang licin —perpaduan antara keringat, saliva, dan cairan kenikmatan— saling bergesekan, membuat tubuhku bergelinjangan beberapa kali dibuatnya.

Semakin cepat ia menaikkan tempo, semakin menggila pula ciumannya. Membuat oksigen berhamburan entah kemana hingga rasanya sulit sekali ku hirup.

Ia mengerang dan mencabut miliknya, lalu perutku terasa seperti disiram cairan hangat. Sedangkan aku, entah sudah berapa kali aku dibuatnya mencapai klimaks. Tenagaku seolah terkuras hingga tubuhku terkulai dalam dekapannya.

“Masih kuat, sayang?” tanyanya.

Aku bergeming.

Sebaiknya mulai besok aku harus mulai berolahraga agar staminaku tidak kalah telak dengan lelaki berumur 40an tahun ini.

“Om anggap iya,” ucapnya lagi.

Ia mengecupku lalu menurunkanku dari gendongannya. Lalu ia memutar tubuhku untuk membelakanginya, kemudian aku merasakan penisnya yang hangat kembali menggerayangi lubangku yang tentu saja masih berkedut.

Malam ini rasanya begitu sepi sampai-sampai suara yang dapat ku dengar hanyalah degup jantungku sendiri, napas kami yang memburu, erangannya, dan suara decak-decak basah yang menggelikan.

Aku hanya berharap suara yang kami buat tidak terlampau berisik hingga dapat didengar oleh Tsumiki maupun Megumi.

Melakukan dengan posisi seperti ini seakan membuatku gila. Ia memegangi pinggangku dengan posesif. Namun kemudian tangannya yang sebelah mulai memainkan payudaraku yang tampak menggantung seperti mainan yang akan memikatnya, walau sepertinya memang benar. Ia benar-benar terpikat dan memainkannya, tidak peduli bahwa tubuhku bergelinjangan tidak karuan karenanya.

“Om.. jangan.. barengan..” ucapku terputus-putus.

Namun tampaknya ia tidak mengindahkan ucapanku, malah ia semakin liar saja. Bahkan kini ia menambah stimulasi dengan menciumi leherku, yang aku pun heran, apakah sejak dulu leherku bisa sesensitif ini?

Tubuhku menggeliat dan pinggulku bergerak seakan memiliki pemikiran sendiri. Ini tentu saja membuatku khawatir.

Stop tubuhku! Jika tidak berhenti bergerak, dia bisa menggempurku sampai pagi. Atau parahnya lagi sampai Tsumiki atau Megumi menemukan kami berbuat mesum di dapur rumah mereka.

Tiba-tiba ia mencubit putingku kuat-kuat, membuatku memekik bersamaan dengan erangannya serta cairan hangat yang menyelimuti punggungku.

Tubuhku benar-benar lunglai, letih sekali, rasanya akan ambruk jika saja Toji tidak merengkuhku.

Ia menggendongku dan mengecup-ngecup wajahku, tangannya yang satu menumpu pahaku, dan yang satunya menumpu leherku. Ia membawa tubuhku yang lemah ke dalam kamar mandi, mendudukkanku di atas closet, kemudian membersihkan tubuhku. Kalau boleh jujur, dia sangat terampil dan cekatan. Ia membereskan kekacauan yang kami buat dengan cepat.

Setelahnya, ia mendudukkanku di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.

“Kamu lapar?” tanyanya.

Seketika aku teringat. Aku ke dapur hendak merebus mie instan, bahkan aku tadi sudah menyiapkan bumbunya. Dan untungnya aku lupa menyalakan kompor.

“Iya. Tadi aku kesini mau bikin mie. Eh, malah simulasi bikin anak,” gerutuku yang menuai tawa darinya.

“Saya bikinin, kamu duduk manis aja disini.” ucapnya, lalu mengecup keningku. Kemudian ia beranjak untuk memasak mie instan.

Melihatnya tengah memasak untukku, walau sederhana sekali, membuatnya tampak makin atraktif di mataku.

Rasanya aku ingin sekali memeluknya dari belakang. Namun sepertinya itu bukan ide yang bagus. Bisa-bisa ia lepas kendali dan kembali melucuti pakaianku.

Akhirnya aku hanya memandanginya sampai ia selesai dan membawakan dua mangkuk mie hangat untuk kami berdua makan bersama.

Tunggu, kalau dipikir-pikir.. ini lebih tepat dikatakan sebagai simulasi berumah tangga dengannya. Memikirkannya saja membuat rona merah kembali mencuat di pipi.

Sungguh, aku benar-benar mencintai lelaki di hadapanku ini. Sangat-sangat mencintainya.


©️unatoshiru