Runaway


Kamu berjalan tergesa-gesa dengan menenteng sebuah tas jinjing berukuran sedang, lalu menaiki sebuah taksi yang baru saja tiba.

Kepalamu yang terasa berat dan berdenyut, menyandar pada sisi jendela dan menatap jalanan malam yang cukup ramai dengan kendaraan. Namun, pikiranmu justru menghambur pada sosok suamimu dan Toji Fushiguro.

Pikiranmu kalut, keputusan untuk kabur dari rumah seperti ini juga bukanlah suatu keputusan yang telah dipikirkan secara matang. Kamu hanya memanfaatkan keadaan dimana suamimu saat ini tengah menghadiri pertemuan dengan para petinggi, sehingga kamu bisa pergi tanpa hambatan. Setidaknya begitu untuk saat ini, karena dia bisa saja bertindak nekat dengan mencari-cari alasan untuk pulang lebih awal dan menyeretmu kembali ke rumah jika ia berhasil menemukanmu.

Untuk berjaga-jaga agar ia tidak dapat melacak keberadaanmu, kamu bahkan meninggalkan ponsel pemberiannya di rumah. Tentu saja kamu sudah menghapus segalanya, termasuk akun sosial mediamu yang biasa kamu gunakan untuk berkeluh kesah. Bisa mampus jika ia melihatnya.

Kamu hanya berbekal beberapa potong pakaian, perhiasan milikmu, kartu ATM pribadi, dan uang tunai yang memang sengaja kamu simpan untuk keperluan atau situasi darurat —yang ternyata kamu gunakan untuk kabur dari suamimu sendiri.

“Bu, mau dianter ke mana, ya?” tanya supir taksi yang memecah keheningan.

Sejujurnya kamu sendiri belum menentukan tujuan. Kamu hanya berpikir untuk segera pergi dari rumah dan menjauh dari Nanami Kento selagi bisa.

Terbesit di kepalamu untuk menemui Toji, namun kamu urungkan. Kamu tidak ingin melibatkannya meski sangat ingin. Keraguan juga muncul di benakmu. Mungkin saja ia sudah mupakanmu setelah hubungan kalian terbongkar oleh suamimu. Terlebih kamu seolah menghilang setelahnya. Bisa saja ia berpikir bahwa kamu sudah berbaikan dan memulai lembaran baru dengan suamimu, sehingga ia memilih untuk mundur dan melupakanmu. Atau mungkin ia malah sudah menggantikanmu.

Yang kamu inginkan saat ini hanyalah sebuah ketenangan dan kedamaian untuk memulihkan diri. Tubuhmu lelah secara fisik dan mental. Mungkin meninggalkan mereka berdua adalah yang terbaik untuk saat ini.

“Berhenti, Pak,” ujarmu mendadak ketika melewati sebuah café yang tidak asing bagimu.

Itu adalah sebuah tempat yang biasa kamu kunjungi dengan Toji Fushiguro. Bahkan setiap momennya masih kamu ingat dengan jelas, seperti di sudut mana kalian biasa duduk dan berbagi cerita, bagaimana ia akan mengenalkanmu sebagai kekasihnya di hadapan wanita yang berusaha mendekatinya, atau menu apa yang biasa kalian pesan untuk dinikmati bersama.

Dirimu tergerak untuk memasuki café itu, ingin mencicip rasa manis yang biasa kamu pesan untuk terakhir kali. Menikmati saat-saat terakhir sebelum melepas semua kenangan dan pergi untuk menjajal kenangan baru di tempat lain.

Tentu saja, kamu juga duduk di tempat yang sama seperti saat berkunjung dengan Toji. Yang berbeda kali ini adalah kamu hanya duduk seorang diri ditemani segelas minuman yang balok-balok esnya mulai mencair. Kamu termangu menatap jalanan yang dipenuhi kendaraan dan muda-mudi yang berlalu lalang, begitu nyaman hingga seseorang tiba-tiba menginterupsimu.

Seseorang yang sejatinya memang kamu harapkan kehadirannya.

Toji Fushiguro.

“Demi Tuhan, saya kira saya gak akan bisa lihat kamu lagi,” ujarnya yang terdengar lega ketika melihatmu, seolah-olah ia telah menunggu kehadiranmu selama ini.

Kamu menoleh sembari menyunggingkan senyum tipis, “Aku kira juga begitu.”

Melihat wajahmu yang tampak kacau dengan wajah pucat, pipi kurus, mata sedikit membengkak dan merah, serta terdapat bekas luka yang masih merekah di bibir, tubuhnya menegang dan menatapmu penuh rasa khawatir.

“Aku kelihatan kaya mayat hidup, ya?” tanyamu dengan kekehan kecil.

“Suamimu yang ngelakuin ini?” tanyanya.

Kamu hanya membuang muka menanggapinya, seolah enggan membicarakannya.

Toji meraih tanganmu, lalu mengusap-usap punggung tanganmu dengan lembut, “Suamimu tau kamu kesini?”

Kamu menggeleng.

“Kamu mau kemana?” tanyanya lagi.

Lagi-lagi kamu menggeleng, “Mungkin ke tempat yang jauh? Aku cuma mau sembunyi dari dia.”

“Dan saya bukan opsi tujuanmu?”

Kamu tertawa renyah, “Kalau tujuanku ternyata udah dipenuhi orang lain, gimana?”

“Gak mungkin! Satu-satunya yang saya mau masih kamu. Dan akan selalu kamu. Hampir setiap hari saya kesini buat mastiin kamu datang kesini atau gak,” balas Toji sembari menggenggam tanganmu yang tampak lebih kurus.

“Kamu nungguin aku?”

“Saya selalu nunggu kamu,” ucap Toji dengan sungguh-sungguh.

“Kalau gitu, bawa aku pergi.”

Toji tidak lekas menjawab. Matanya melihat sekeliling seolah memastikan tidak ada sepasang mata pun yang memerhatikan, lalu ia tarik tanganmu dan mencium punggung tanganmu sebelum membantumu beranjak dari tempatmu duduk.

“If protecting you makes me a criminal, then I will proudly become one” bisiknya.

“And I'm the partner of that criminal,” sahutmu.


“Kamu tau? Tadinya saya berencana pergi ke luar negeri buat ngelupain kamu.”

“Oh ya?”

“Hm, tapi kalau dipikir ulang, kayaknya lebih baik kalau perginya berdua sama kamu.”

“Aku mau urus surat ceraiku dulu.”

“Nanti saya temani, ya.”

Entah mengapa berdua bersamanya membuatmu merasa lebih nyaman dan aman, hingga kamu berani mengecup singkat bibirnya. Bahkan Toji pun mampu dibuat kaget olehmu.

Alih-alih membalas untuk menciummu seperti biasanya, ia malah memeluk tubuhmu dan mengecup pucuk kepalamu beberapa kali.

“Jangan menggoda saya sampai semua lukamu sembuh,” ujarnya.

“Aku ga godain kamu!”

“Barusan kamu cium-cium saya. Kamu gak tau seberapa inginnya saya buat cium kamu.”

“Ya, cium aja!”

“Gak mau! Nanti lukamu gak sembuh-sembuh!”

“Ini ga sakit!”

“Kamu sariawan aja meringis terus, bohong kalo yang kaya gini kamu gak ngerasa sakit!”

“Lama-lama terbiasa sama rasa sakitnya.”

“Kamu sekarang jadi masokis?”

“ENGGAK!”

“TERIMA KASIH, TUHAN..” ucapnya sembari mengeratkan pelukannya.

Takdir dan waktu selalu berjalan beriringan. Setiap pilihan yang kamu buat, pasti akan menuntunmu pada sebuah takdir sesuai dengan waktu yang takdir inginkan.

Takdir bukanlah sosok yang kaku dan kolot, terkadang ia pun mampu diluluhkan dengan harapan dan tindakan yang berani. Meski tidak selalu baik, tapi setidaknya takdir tidak pernah mengolok pilihan apapun yang manusia buat. Takdir bahkan membiarkan setiap manusia untuk mencari dan menemukan akhir bahagia untuk mereka sendiri tanpa menghakimi. Seperti halnya dirimu yang memilih Toji sebagai akhir bahagiamu sendiri.


—FIN


©️unatoshiru