Wet
Toji Fushiguro x fem!reader
📝 3,460 words ⚠️ NSFW, explicit sexual content, foreplay, body fluids, squirting, penetration
Langit bergemuruh, awan-awan kelabu menyebar menghalangi keriaan sang surya pada petang itu. Rintik-rintik hujan mulai membasahi jalanan, tidak peduli dengan orang-orang yang masih berlalu lalang mencari tempat untuk berteduh.
Tiga puluh menit berlalu, sedangkan langit masih kelabu dan awan sendu semakin meneteskan airnya dengan deras, masih tampak enggan untuk membiarkan matahari bersinar kembali. Hal itu tentu saja membuatmu gusar, entah sampai kapan kamu akan menunggu hingga hujan reda sedangkan tubuhmu yang basah kuyup sudah mulai menggigil kedinginan.
Kamu berteduh seorang diri di emperan sebuah ruko yang tutup, menunggu angkutan umum yang sudah lebih dari tiga puluh menit tidak kunjung tiba untuk kamu tumpangi. Sungguh sial dirimu hari ini, jika saja siang tadi kamu memastikan baterai ponselmu dalam keadaan penuh, mungkin saja sekarang kamu sudah merebahkan diri di kasur setelah melalui perjalanan menggunakan ojek online alih-alih menunggu dengan tidak pasti di bawah derasnya air hujan dan dinginnya terpaan angin.
Menit demi menit berlalu, langit pun semakin gelap. Hujan yang terus mengguyur dan hembusan angin yang terasa menusuk hingga tulang makin membuat tubuhmu yang sudah sedingin es itu gemetar. Tanpa melihat cermin pun kamu sudah dapat memperkirakan sepucat apa wajahmu saat ini.
Sempat terpikir olehmu untuk nekat berjalan kaki, namun kamu urungkan sebab khawatir akan membuat barang bawaanmu menjadi semakin basah dan rusak, dan lagi pula jarak yang perlu kamu tempuh terbilang cukup jauh. Bisa-bisa bukannya kembali pulang dengan selamat, kamu malah kembali pulang dengan kasihan di tangan Tuhan.
Pasrah. Langit tidak menunjukkan tanda-tanda akan kembali tersenyum cerah dalam waktu dekat, membuatmu yang sudah sepucat bunga mawar seputih gading yang hampir layu hanya mampu menggosok-gosokkan kedua tangan demi menciptakan percikan-percikan kehangatan.
Di kala hatimu sudah memasrahkan diri, Tuhan seperti memberimu sebuah pertolongan yang tidak pernah kamu sangka-sangka.
Dari kejauhan, matamu menangkap sosok pria yang sangat kamu kenal tengah melajukan motor bertangki merah miliknya di bawah derasnya guyuran hujan, lalu ia lambatkan laju motornya dan berhenti tepat di depan emperan ruko kosong tempatmu berteduh.
Pria itu sama kuyupnya denganmu dan hanya mengenakan helm untuk melindungi kepalanya dari derasnya hujan. Tampaknya kemeja putih yang ia kenakan benar-benar tidak ada gunanya. Kemeja putih tersebut tampak sedikit transparan akibat dibasahi hujan, dan tentu saja menyeplak jelas bentuk tubuhnya yang tegap, besar, dan berotot. Bahkan, beberapa kancing teratasnya lepas hingga mengekspos dada bidangnya yang terlihat padat, sekal, dan hangat.
Sial, bukankah sebaiknya ia melepas saja pakaiannya yang benar-benar tidak berguna itu?
“Naik. Saya anter,” titah pria itu dengan suara bariton yang berat hingga membuatmu gugup.
“Nggak usah, Mas,” jawabmu meski gigimu sudah gemeletak menahan gigil.
Mas Toji.
Pria matang berstatus duda dengan wajah dan perawakan tubuh yang benar-benar memesona dan memanjakan mata, dan mungkin juga akan mampu memanjakan tubuhmu yang kedinginan itu dengan kehangatan yang mendebarkan dari setiap sentuhannya. Oh, tidak. Bukannya kamu ingin memfantasikan hal-hal cabul seperti itu dengannya, hanya saja, tubuhmu yang kedinginan ini benar-benar mendamba sebuah kehangatan.
Dengan sembrononya ia tarik tanganmu yang tampak memucat itu agar kamu berdiri lebih dekat dengannya, membuat kehangatan kembali menyeruak dari dalam dadamu.
“Dingin banget tanganmu. Udah nunggu berapa lama?” tanyanya sedikit terkejut dan masih memegangi pergelangan tanganmu.
Kamu menggeleng pelan, tidak yakin ingin menjawab apa.
Tanpa diduga, ia malah melepaskan helmnya dan memasangkannya ke kepalamu yang setengah basah. Lalu suara serak dan beratnya terdengar seperti tengah memerintahmu, “Naik. Saya anter kamu pulang.”
“Rumahku jauh, nanti Mas malah masuk angin kalo nganterin aku,” cicitmu.
“Mending saya masuk angin, daripada lihat kamu mati kedinginan di sini,” ucapnya sembari menarik gas pada stang motornya setelah kamu duduk di jok belakangnya.
Dinginnya angin yang semula menusuk hingga tulang belulang tidak lagi kamu rasa, suara keras bulir-bulir air hujan yang begitu deras menghantam helm yang kamu kenakan juga tidak lagi kamu hiraukan. Satu-satunya yang kamu dengar hanyalah suara debaran jantungmu yang bertalu-talu hingga membuatmu sedikit kesulitan bernapas
Tubuhmu merinding, entah karena gigil akibat dingin yang mencengkeram tubuhmu, atau karena kupu-kupu yang sayap-sayapnya terasa seolah menggelitik rongga perutmu ketika Toji memintamu untuk memegang pinggangnya yang sekokoh beton? Kamu tidak begitu mengerti.
Kamu benar-benar tidak mengerti sikap pria yang pinggangnya tengah kamu rangkul di bawah guyuran hujan. Biasanya ia tampak tidak peduli dan hanya bercakap-cakap seperlunya saja denganmu. Sedangkan kali ini, tangan dinginnya menyentuh punggung tanganmu yang masih membelit pinggangnya seakan berusaha memberimu sedikit kehangatan.
Gawat. Yang ia berikan bukanlah sekadar kehangatan, melainkan tubuhmu kini terasa seolah-olah terbakar. Panas. Membuat darahmu yang seperti terbakar itu berdesir-desir meski kulitmu masih sama dinginnya dengan balok-balok es setiap kali Toji menggenggam punggung tanganmu dengan tangan kirinya.
“Neduh di rumah saya dulu, ya,” ucapnya yang tidak mampu kamu bantah sebab bibirmu sudah kaku akibat dinginnya udara petang kelabu itu.
Toji memarkirkan motornya di teras berukuran mungil di depan rumah kontrakan sederhana miliknya. Kamu mengekorinya masuk ke dalam dengan langkah gemetar dan gigi gemeletak menahan dingin yang rasanya kian menyiksa.
Kamu mematung di depan pintu setelah Toji menutupnya, bingung ingin melakukan apa selain ingin cepat-cepat mencari kehangatan. Sedangkan Toji, ia segera melangkah cepat-cepat menuju kamarnya lalu kembali dengan membawakan handuk bersih dan kaos hitam berlengan panjang miliknya untukmu berganti.
“Ganti bajumu pakai ini, saya rebus air dulu buat kamu mandi,” ujarnya yang ulurannya kamu terima dengan tangan gemetar.
Demi Tuhan, saking dinginnya, kulitmu seperti mati rasa. Meski sudah mengeringkan tubuh basahmu dengan handuk dan berganti dengan pakaian kering, tubuhmu masih menggigil. Bahkan, mungkin saja membalut tubuhmu dengan selimut tebal juga tidak akan begitu membantu.
Kamu bergelung di sudut sofa sederhana berwarna merah maroon, dengan kedua kaki telanjang yang kamu naikkan dan rapatkan ke dada lalu menutupinya dengan baju hitam kebesaran milik Toji yang tengah kamu kenakan. Mungkin rasanya akan lebih nyaman jika Toji yang merengkuh tubuhmu alih-alih harus meringkuk seperti ini.
Menit demi menit berlalu hingga akhirnya Toji kembali dengan bertelanjang dada dan handuk yang membelit pinggangnya sembari membawa segelas minuman hangat yang uapnya mengepul-ngepul. Tampaknya ia segera menghampirimu setelah mandi, sebab aroma sabun masih tercium lembut dari kulitnya.
Hangat. Rasanya hangat sekali tangannya ketika menyentuh pipimu. Andai ia menyentuh tubuhmu yang lain, pasti rasa dingin ini akan sirna.
Ia duduk di sebelahmu, membantumu untuk meminum segelas minuman hangat yang semula ia bawakan. Aroma jahe menguar ketika kepulan asapnya menyentuh indera penciumanmu. Sejujurnya, kamu tidak begitu menyukai minuman rempah-rempah seperti ini. Namun, jika Toji, mungkin racun pun akan kamu minum jika ia yang menyuapi.
Kehangatan terasa mengalir dari kerongkongan dan turun hingga lambung setelah kamu menyesapnya sedikit demi sedikit. Matamu mencuri-curi pandang ke arahnya hanya untuk melihat wajah tampan pria berusia matang itu, leher tebalnya, bahu tegapnya, dada bidangnya yang naik turun dengan ritmis, otot perutnya yang menggoda untuk disentuh, lalu belitan handuk yang melingkar di pinggangnya dan menutupi miliknya seperti sebuah rahasia yang entah mengapa membuat jantungmu berdebar-debar hebat hingga tersedak.
“Kamu gakpapa?” tanya Toji dengan khawatir.
Jangan. Jangan pedulikan jika tidak benar-benar khawatir.
Kamu hanya mengangguk pelan dan makin merapatkan lututmu ke dada.
“Kamu duduk kaya gitu emang enak?” tanyanya.
Dengan malu-malu dan kamu menjawab, “Mas Toji cuma kasih aku baju.”
Awalnya Toji tidak begitu paham maksudmu, tapi setelah matanya mendapati sebagian pahamu terekspos, ia baru menyadari bahwa kamu tidak mengenakan apa pun selain kaos hitam berlengan panjang miliknya yang tampak kebesaran di tubuhmu.
“Oh, maaf,” ucapnya
Toji memalingkan wajahnya, berusaha mengalihkan pikirannya dari fakta bahwa seorang gadis meringkuk tanpa busana di kediamannya dan hanya berbalutkan pakaian miliknya. Membuatnya teringat kepada seorang wanita yang dulu mengisi relung hatinya dengan kehangatan, cinta, dan kesenangan, sebelum akhirnya ia bakar hatinya hingga menjadi abu dan tak lagi mampu mencinta.
Dulu, wanita itu kerap menggodanya dengan mengenakan pakaian-pakaian miliknya yang selalu saja tampak kebesaran tanpa memakai apapun lagi di dalamnya, bahkan celana. Benar-benar mirip sekali dengan yang kamu lakukan saat ini, meski tentu saja kamu mengenakannya tidak untuk menggodanya, hanya saja keadaan yang begitu memaksa.
Toji bangkit dari duduknya, hendak pergi entah ke mana. Namun dengan tidak tahu dirinya, kamu menahan lengannya dan membuatnya menoleh ke arahmu yang masih meringkuk kedinginan.
“Saya mau ambil selimut, sekalian nyiapin air buat kamu mandi nanti,” ucapnya.
Kamu melepaskan lengannya yang terasa hangat dalam genggamanmu dengan berat. Lalu membiarkannya pergi.
Kamu merenung dalam diam dengan posisi masih meringkuk mencari kehangatan dari sepotong pakaian milik Toji dan handuk yang menjadi sedikit basah setelah kamu pakai untuk mengeringkan tubuh dan juga rambutmu.
Matamu mulai berat, lelah menahan gigil yang tiada usainya meski sudah berganti pakaian dan meminum rebusan jahe. Tetap dingin meski selimut tebal melingkar di tubuhmu.
“Masih dingin?” tanya Toji yang baru saja melapisi tubuhmu dengan selimut.
“Dingin..” cicitmu dengan lemah.
Lagi-lagi Toji menyentuh pipimu, merasakan betapa dinginnya kulitmu dengan telapak tangannya. Bibirmu yang biasa secerah buah ceri, kini tampak pucat membiru. Bahkan bahumu yang biasa tegar dan tampak kokoh di matanya, meski dihujani banyak masalah, kini bergetar nyaris tumbang oleh dinginnya hujan dan angin yang menusuk-nusuk tulang. Dan kedua matamu yang biasa menatapnya dengan binar-binar cemerlang, kini tampak kuyu dan nyaris padam.
Satu-satunya yang Toji pikirkan adalah gadis di hadapannya bisa saja mati akibat hipotermia setelah kuyup diterpa hujan dan disiksa oleh dinginnya angin dalam waktu yang lama. Bahkan minuman hangat tidak cukup ampuh untuk membuat tubuhnya kembali capai suhu normal.
Tidak. Toji menepis pikirannya untuk memeluk tubuhmu dan memberikan sedikit kehangatan dari tubuhnya agar suhu tubuhmu kembali normal. Bisa-bisa kamu mengecap dirinya adalah seorang pria tua yang cabul!
“Hangat... tangan Mas Toji hangat,” gumammu dengan suara bergetar sembari meraih tangannya yang masih menangkup pipimu, membuat Toji tekejut hingga matanya melebar.
“Maaf,” ujarnya sebelum melepaskan tangannya dari genggamanmu dan menjauhkannya dari pipimu.
Kelu. Jantungmu terasa mencelos akibat rasa malu atas kebodohanmu yang dengan tidak tahu dirinya menggenggam tangannya dan mencari-cari kehangatan darinya. Hingga tiba-tiba Toji menarik kembali selimut yang semula ia gunakan untuk menutupi tubuh gemetarmu, membuang handuk setengah basah yang semula bertengger di kepalamu, dan mencoba melepas kaos hitam berlengan panjang miliknya yang tengah kamu gunakan.
Toji mengabaikan pandangan penuh keterkejutan darimu. Akal sehatnya mulai berkecamuk dan dadanya kembali berdegup seakan bara api pada hatinya kembali hidup. Luluh. Ia luluh melihatmu yang tampak demikian inginnya kehangatan darinya. Hatinya luluh dan inginkan kembali binaran matamu yang selalu curi-curi pandang padanya. Binaran mata yang tampak berani sekaligus malu-malu jika bertemu pandang dengannya.
Ia duduk di sebelahmu, melepas handuk yang sejak tadi membelit pinggangnya, lalu menarik tubuh telanjangmu dan merapatkan punggungmu pada dada bidangnya. Kemudian ia gunakan kembali selimut yang semula ia bawa untuk membalut tubuh telanjang kalian berdua hingga kehangatan mulai menggelenyar pada tubuhmu.
Perlakuan Toji tidak hanya memantik api kehangatan, tapi membuat tubuhmu mulai terasa seolah terbakar. Terbakar. Dan semakin terbakar ketika lengan kekarnya mendekap tubuhmu, dan deru napasnya yang hangat mulai menyapu tengkukmu.
“Hangat?” bisiknya tepat di telingamu, membuat semburat merah muda timbul di telinga dan juga pipimu.
“Iya..” jawabmu.
Toji tidak melakukan hal lain selain memeluk erat tubuhmu. Ia terus memelukmu dan memastikan bahwa rasa hangat telah menganggantikan rasa dingin yang semula menyiksamu. Sedangkan kamu, pikiranmu sudah dipenuhi dengan berbagai macam adegan erotis bersama pria itu.
Bagaimana tidak? Berduaan dengan seorang pria yang diam-diam kamu sukai dan dipeluk erat-erat olehnya dalam keadaan tanpa busana, bukankah wajar jika kamu berpikir ia akan melakukan hal lain selain berpelukan?
Jantungmu bertalu-talu hingga napasmu menjadi berat dan memburu kala pikiranmu dengan gilanya membayangkan tangan kekarnya yang besar dan hangat membekap kedua bongkahan kenyal di dadamu seperti sekarang ini. Tunggu. Tampaknya ini bukanlah khayalanmu semata. Tangannya benar-benar berada di dadamu, membuatmu sedikit sesak karena jantungmu terasa seakan ingin meledak.
Sesuatu yang terasa lembut, hangat, dan sedikit basah menyentuh tengkuk dan bahumu. Dan sedetik kemudian rasa nyeri yang tiba-tiba mendera membuatmu sedikit memekik, namun ia tidak lantas melepas gigitannya.
“Mas..” panggilmu yang tidak mendapat respon darinya.
“Mas Toji..” panggilmu lagi.
“Jangan panggil nama saya lagi, kalo kamu gak mau lihat saya lepas kendali,” ujarnya usai melepas gigitannya dan mengendurkan pelukannya.
Ia tidak berbohong. Ia benar-benar akan lepas kendali jika kamu memanggil namanya dengan suara lembut dalam rengkuhannya seperti ini. Mungkin tidak hanya kecupan dan gigitan di bahu yang akan kamu terima, mungkin ia akan membuatmu merasakan hal lain. Hal-hal lain yang sejak tadi mengusik pikiranmu hingga membuat tubuhmu seolah terbakar oleh gairah gila bercinta dengannya. Benar-benar pikiran yang gila hingga membuat bagian bawah tubuhmu berkedut dengan hebatnya.
Sehingga tentu saja kamu kembali memanggil namanya seolah menguji kebenaran atas ucapannya barusan,
“Mas Toji..”
Panggilan singkat yang memiliki arti bahwa kamu memang menginginkannya lepas kendali hingga membuat pikiranmu kacau dan hanya diisi oleh dirinya.
Lantas saja, Toji segera memagut bibirmu dan melumatnya seolah ia telah lama menunggu untuk itu.
“Saya duda,” ujarnya di sela-sela ciuman.
“Aku tau,” jawabmu lalu mengecup bibir basahnya.
Ia kembali melumat bibirmu dengan lembut hingga membuat kepala dan tubuhmu seolah meleleh karenanya.
“Kamu masih muda. Banyak laki-laki muda yang lebih pantas sama kamu,” ucapnya ketika melepas ciumannya, memberimu jeda untuk menghirup kembali oksigen yang hampir menipis.
“Saya udah tua,” sambungnya.
Kamu tidak lantas menimpali karena paru-parumu masih perlu lebih banyak oksigen.
“Hm?” Toji menjilati bibirmu yang masih terasa dingin meski warna cantiknya sudah kembali menghiasi.
“Aku maunya Mas Toji..” jawabmu lalu menerima uluran lidahnya untuk berdansa hingga bibir dan dagumu sedikit basah oleh saliva.
Tubuhmu tidak lagi merasa kedinginan. Suhu panas pada tubuh kalian yang berada di bawah balutan selimut benar-benar membuatmu merasa hangat, bahkan tubuhmu mulai sedikit berkeringat. Entah karena selimut yang membalut atau karena aktifitas gila yang tengah kalian lakukan bersama.
Rasa merinding merayap dari ujung kepala hingga ujung kaki ketika tangannya meremas-remas payudaramu, lalu sebelah tangannya bergerak turun hingga ke pusar, dan terus turun sampai jarinya menemukan sesuatu yang hangat, berdenyut-denyut liar, dan basah oleh cairan lendir.
Benar-benar tega. Ia biarkan tubuhmu menggelinjang hebat akibat rangsangan gila yang ia berikan pada mulutmu yang terus ia buat sibuk dengan lidahnya, pada payudaramu yang ia mainkan dengan tangan kanannya, dan pada klitoris serta lubang vaginamu yang berkedut gila-gilaan ketika jarinya menjamah bagian dalam secara bersamaan.
Sepertinya, pria berusia matang dengan segudang pengalaman benar-benar mampu memorak-porandakan pikiranmu hingga tidak lagi bisa memikirkan apapun selain sosoknya.
“Mas..nghhh... Mas Toji...” lenguhmu sembari memegangi lengannya yang sama berkeringatnya denganmu.
“Kenapa? Enak?” tanyanya yang masih sibuk memanjakan putingmu yang mengeras, klitorismu yang memerah, dan vaginamu yang terus meluapkan cairan kental berwarna bening.
“Mas.. udah..” cicitmu yang menuai tawa renyah darinya.
“Apanya yang udah? Kamu keenakan sampe ngangkang lebar gini, loh. Masa udahan?” balasnya yang terus menerus menggerakkan jari-jarinya dalam lubang senggamamu.
“Akhh.. Mas.. udah–nghh.. nanti pipis,” racaumu yang menahan rasa merinding di kepala dan seluruh tubuh, rasa seperti ingin mengeluarkan cairan kencing saat itu juga.
Toji tidak menghiraukannya dan malah semakin memberimu stimulasi seperti mencubit klitoris dan putingmu hingga membuat tubuhmu mengejang dan lubang senggamamu memuncratkan cairan bening hingga membuat tangan, sofa, serta selimutnya basah.
Tubuhmu limbung, terkulai lemas dalam rengkuhannya yang sangat kokoh menyangga tubuh basahmu. Kepalamu bersandar di dadanya yang tampak mengilap oleh keringat, sedangkan Toji sekali lagi melumat bibirmu yang tampak lembab oleh saliva.
Nikmat, setiap sentuhannya pada tubuhmu sudah membuatmu dimabuk kepayang hingga bergetar dan mengejang penuh gairah dalam dekapannya. Pikiranmu mulai menerawang jauh, kenikmatan seperti apa lagi yang mampu ia berikan dengan miliknya yang sudah menegang dan terasa hangat menyentuh bokong telanjangmu itu?
“Jangan gerak-gerak,” bisiknya sembari menenggelamkan wajahnya di ceruk lehermu.
Bagaimana bisa pinggulmu diam tanpa menggeliat seolah menggoda penisnya yang terus bergesekan dengan belahan bokongmu, jika jemarinya terus meremas-remas dan memainkan putingmu dengan liarnya?
“Mas.. hhh.. jangan dipelintir..” cicitmu dengan suara parau dan patah-patah.
“Terus maunya diapain? Dicubit? Ditarik? Apa mau diemut?” tanyanya sembari mencubit dan menarik putingmu hingga membuat tubuhmu bergetar dan punggungmu meliuk-liuk diatas dadanya.
Kamu hampir gila, tubuhmu memanas, debaran jantungmu semakin keras, napasmu menjadi berat dan tersengal-sengal. Tubuhmu mulai bergerak seenaknya sendiri meski mulutmu terus berkata untuk berhenti. Pinggulmu menggeliat hingga bokongmu terus menerus memberikan stimulasi gila pada kejantanan milik Toji yang semakin menegang dan berkedut seakan siap untuk memuaskan pikiran-pikiran erotis yang sejak tadi memenuhi kepalamu.
Suara lenguhan yang berat dari Toji menggelitik telinga dan juga perutmu seolah ada kupu-kupu yang mengepakkan sayap lembutnya di sana, membuatmu merasa merasa senang karena tahu bahwa tidak hanya dirimu yang menikmati momen gila ini.
Telapak tangan milik Toji yang basah dan licin oleh lendir mulai merayap menyusuri lekuk pinggangmu, perutmu, pinggulmu, lalu berhenti di pahamu dan mencengkramnya.
Penuh, rasanya rongga vaginamu sangat penuh ketika Toji menjejalkan kejantanannya setelah ia angkat kedua pahamu yang sejak tadi memang sudah terentang akibat jemari nakalnya yang memainkan liang vagina dan klitorismu tanpa ampun.
Toji mengeraskan rahangnya, sedangkan kamu merintih dan melenguh sebab kewanitaanmu tengah dijajah oleh rudal besar miliknya.
“Mas Toji..” rintihmu yang mendapat sambutan hangat oleh mulutnya yang melumat bibirmu agar tidak terus meracau dan hanya fokus dengannya.
Tampaknya tidak hanya bibir yang saling melumat, vaginamu turut melumat penis besar milik Toji yang bertengger di dalamnya. Membuat Toji memejamkan matanya dan semakin terbakar oleh gairah hingga tangannya tidak berhenti menggerayangi tubuh licinmu dan memainkan kedua gundukan kembar yang sekal dan sensitif di dadamu.
Toji kini meletakkan kembali tangannya di pangkal kedua pahamu, mengangkatnya sedikit dan menggerakkan pinggulnya naik turun, menciptakan sensasi gila seakan dilubangi oleh miliknya yang besar dan tebal itu hingga memenuhi seluruh rongga vaginamu. Tidak, bahkan miliknya berhasil membuat lubang sempitmu itu meregang menyesuaikan ukuran miliknya.
Tubuhmu menggelinjang hingga beberapa kali punggungmu terantuk dada bidangnya yang padat dan basah oleh keringat.
Selimut yang semula menyelimuti kedua tubuh telanjangmu dan Toji kini tersingkap, luruh hingga mengekspos posisi dan kegiatan penuh nafsu kalian di bawah cahaya lampu yang berpendar cerah. Toji semakin gila-gilaan menghujam lubang sempitmu hingga membuat otakmu mendadak kosong dan kesulitan berbicara.
Toji menggeram dan lenguhan darimu seakan menyahutinya untuk terus membuat tubuhmu kelimpungan tak berdaya oleh kenikmatan dan kehangatan yang ia ciptakan.
“Mas—nghh.. Mas Toji..” desahmu yang membuat Toji makin hilang akal dan makin mempercepat hujamannya.
Baginya, suara lemahmu yang bergetar saat memanggil namanya terdengar sangat menggairahkan, membuat hatinya yang sudah lama padam kembali memanas, hangat, dan terbakar. Sangat menggoda hingga ia tidak mampu menahan dirinya untuk tidak membuat tubuhmu menggelinjang kenikmatan dan menyuguhi ekspresi cantik yang erotis di hadapannya.
“Lagi, panggil nama saya lagi,” pintanya.
“Mas Toji..” panggilmu sekali lagi yang menuai erangan darinya dan seketika lubang sensitifmu yang tengah ia jajaki semakin terasa sesak, penuh, dan hangat dengan cairan kental miliknya. Semakin penuh hingga cairannya meluap ketika Toji menarik keluar penisnya yang melemas.
Tubuhmu menggelinjang diatas dadanya. Desahan mencelos keluar dari mulutmu yang sedikit menganga, dan cairan bening mengalir dari sudut matamu yang menatap langit-langit dengan lelahnya.
Toji melepas cengkraman pada pangkal pahamu dan meninggalkan bekas kemerahan diatasnya. Lalu kedua lengan kekarnya mendekap tubuh basah dan hangatmu yang bergetar menahan rasa merinding di sekujur tubuh, mencium pucuk kepalamu yang masih setengah basah, yang mungkin kali ini tidak hanya basah oleh hujan, melainkan telah bercampur dengan keringat.
Selesai?
Apakah malam yang terasa lebih panas dari jilatan api unggun, lebih menggairahkan dari ciuman pertama, dan lebih menyenangkan dari melihat tanggal merah di kalender ini harus selesai?
Ah, rasanya kamu tidak ingin malam ini usai. Tidak ingin kehangatan dari tubuhnya, rasa nyaman dari dekapannya, dan rasa aman dari rengkuhan tangan kokohnya ini lenyap bersamaan dengan suara rintik hujan yang perlahan menghilang.
Tangan gemetar dan lemahmu mulai bergerak menyusuri otot lengan miliknya yang masih mendekap tubuhmu lalu memeluknya seolah-olah ia akan menghilang jika kamu tidak menahannya. Tidak ada sepatah kata yang mampu kamu lontarkan, begitu pula Toji. Kalian sama-sama termangu oleh pikiran masing-masing, hanya membiarkan tubuh kalian saling berbicara dalam kebisuan.
Rasa nyeri mulai menggelayuti hatimu, begitu tidak rela ketika Toji melonggarkan pelukannya. Tidak. Rasanya benar-benar tidak rela hingga membuat kedua matamu berkaca-kaca. Lidahmu terasa kelu meski jari tangan milik Toji mengajakmu bermain-main mesra.
Tunggu.
Toji benar-benar memasukkan kedua jari tangan kanannya ke dalam mulutmu! Ke dalam mulutmu yang terus akan merespon apapun yang Toji berikan. Mulutnya, lidahnya, jari-jari tangannya, dan bahkan kejantanannya yang kini terasa kembali menegang diantara belahan bokongmu.
“Air hangatnya keburu dingin,” bisiknya, mengacu pada air hangat yang telah ia siapkan sebelumnya untukmu mandi.
“Mau saya mandikan sekarang?” imbuhnya yang mendapat anggukan darimu.
Tentu, bukan mandi namanya jika tubuhmu yang seharusnya dipenuhi busa dan harum sabun, malah dipenuhi oleh cairan mani yang membuat tubuhmu licin dan lengket dengan aroma khas yang sedikit membuat kepalamu sedikit pusing.
Alih-alih duduk tenang sembari duguyuri air seperti calon pengantin, kamu malah berdiri dengan tangan Toji yang menahan sebelah pahamu yang terangkat dan yang sebelah lagi menahan pinggulmu sembari penisnya terus menghujammu hingga membuat vaginamu meluapkan cairan pelumas yang seolah tidak ada habisnya
Sungguh. Bukan mandi namanya jika suara guyuran air yang seharusnya terdengar malah tergantikan oleh suara erotis dari penisnya yang sedang bercinta dengan vaginamu, suara erangannya, suara lenguhan, desahan, dan suara lemahmu ketika memekik atau memanggil namanya.
Sang Waktu seolah menghentikan langkahnya dan membuatmu benar-benar tidak mampu menebak berapa lama pastinya kamu bersenggama dengan Toji di malam yang dingin dan basah oleh rintik hujan ini. Yang jelas, air hangat yang mulanya mengepulkan uap-uap panas kini telah kehilangan kehangatannya. Dan rasa dingin yang semula menyelimuti tubuhmu kini berganti dengan rasa hangat dan panas oleh kegiatan bercintamu dengannya.
Bercinta, meski kamu sendiri tidak mengerti seperti apa perasaannya terhadapmu yang selalu mencinta dan mendambanya dalam diam.
©️ unatoshiru