Writer's Secret


Suguru Geto x writer fem!reader


⚠️ This story contains explicit and sexual material and is intended for adult readers only.


Hari demi hari berlalu seperti biasa, tidak ada perubahan berarti pada kekashmu, Suguru Geto. Kecuali ia menjadi lebih usil dan lebih sering menggodamu pasca ia mengetahui bahwa kamu adalah seorang penulis fiksi dewasa.

Terkadang ia menggodamu seperti, bagaimana kamu bisa mendeskripsikan suasana dan rasanya bercinta padahal kamu sendiri belum pernah merasakannya, atau hal apa yang kamu pikirkan selama menulis, lalu dengan pedenya ia akan berasumsi bahwa kamu memfantasikan dirinya tiap kali kamu menulis. Terlalu percaya diri, sembrono, dan menyebalkan, karena ucapannya nyaris akurat.

Tidak hanya itu, kini ia menjadi lebih sering mengunjungimu. Ingin menjadi penggemar dan supporter pribadimu yang nomor satu, katanya. Walau jujur saja, kehadirannya malah membuatmu kesulitan untuk fokus menulis. Memangnya siapa yang mampu fokus jika seorang pria setampan Suguru Geto melingkarkan lengannya di perutmu sembari menatapmu dalam-dalam dan menyunggingkan seulas senyum tipis yang begitu menawan?

“Kok kamu gak lanjutin nulisnya, Yang?” tanya Suguru yang semakin merapatkan pelukannya. Sungguh pertanyaan yang tidak tahu malu.

“Gimana aku bisa nulis kalo kamu kaya gini, Kak?” balasmu sambil menepuk-nepuk lengan kekarnya yang melingkar semakin erat di perutmu.

Suguru hanya meringis lalu mencium pipimu sebelum beranjak dan berdiri di belakangmu. “Yaudah, aku pindah deh. Di sini boleh?”

“Apaan? Itu mah kamu malah kaya pengawas ujian, Kak.”

Suguru berjalan ke sudut ruangan dan berdiri disana sembari memalingkan wajahnya. “Yang, ini aku udah jauh banget loh. Aku gak bakal liatin kamu nulis.”

Melihat kelakuannya yang seperti itu membuatmu terpikirkan satu nama, Gojo Satoru. Sahabat dari kekasihmu yang memiliki tingkah laku yang unik. Terlampau unik.

“Kak, kurang-kurangin deh main sama Kak Gojo. Di sini aja, berdirinya jangan jauh-jauh,” ujarmu sembari tertawa.

“Takut aku ketularan ubanan?”

“Ngaco, ih! Ini yang aku takutin, kamu ketularan gak jelasnya kaya dia.”

“Gak boleh gitu, Yang. Gitu-gitu dia temen aku, walau emang sedikit gak waras.”

“Wah, parah banget ngatain Kak Gojo! Aku aduin, ah!” guraumu.

Suguru tertawa dan kembali memintamu untuk melanjutkan naskah yang tengah kamu tulis, berusaha mengalihkan topik. Sebab ia tahu perdebatan ini tidak akan ada habisnya, justru malah akan semakin merembet apabila kamu benar-benar mengadukannya ke Gojo Satoru. Bisa-bisa ia akan datang menyusul dan mengganggu waktumu berdua dengan Suguru. Kamu hanya akan fokus dengan leluconnya, tingkahnya yang konyol, camilan yang ia bawakan, dan membiarkan Suguru tersenyum menahan kecemburuan. Ia benar-benar tidak menginginkan hal itu terulang kembali.

“Aku bingung mau nulis apa,” keluhmu.

Mendengar hal itu, Suguru mendadak mendapat sebuah ide. Tentu saja, ide yang sangat berguna untukmu, atau kira-kira begitulah menurutnya.

“Mau cari inspirasi dulu?” tanyanya yang dihadiahi anggukan pelan darimu.

“Emang yang mau kamu tulis tentang apa?” tanyanya lagi sembari berjalan mendekatimu.

“Nah, ini. Aku bingung, aku ada beberapa ide tapi gak tau mau eksekusi yang mana dulu dan mau ngetik apa tuh aku gak tau. Aku pusing, Kak,” balasmu sembari menggerutu tanpa sadar.

Suguru kembali berdiri di belakang kursimu, lalu memelukmu. “Kamu lagi burnout, Sayang. Jangan dipaksain, nanti kamu malah stress.

“Tapi nanti jadi pada mikir kalo aku males gak sih, Kak? Soalnya aku jarang update.”

“Gak, Sayang. Gak ada yang mikir kayak gitu, mereka pasti memaklumi karena kamu punya kesibukan lain. Percaya sama aku.”

“Tapi aku pengen kaya penulis lain yang rajin banget update tulisan terbaru mereka,” sanggahmu.

“Coba aku tanya, alasan kamu jarang nulis apa?”

“Dibilang jarang nulis ya enggak juga. Aku tetep sempetin buat nulis kok, tapi gak aku post aja.”

“Kenapa gak kamu post?” cecar Suguru yang kini menyandarkan kepalanya di bahumu.

“Aku ngerasa gak layak aja buat di-post. Gimana ya? Aku sendiri pas baca ulang tuh kurang suka sama apa yang aku tulis, gak mungkin kan aku nge-post apa yang aku sendiri gak suka? Aku mau kasih mereka yang terbaik,” jawabmu yang menuai kekehan darinya.

“Sayang, kamu tuh terlalu perfeksionis. Kamu harus inget, gak ada yang perfect di dunia ini. Sesempurna apa pun yang kamu lihat, pasti selalu ada celah untuk kekurangannya. Dan kamu pun harus bisa nerima hal itu.”

“Iya, Kak. Aku tau. Tapi aku gak bisa kalo aku sendiri gak merasakan apapun dari tulisanku sendiri. Kalo aku sendiri ngerasa 'flat' dengan apa yang aku kerjain, gimana orang lain?”

Lagi-lagi Suguru tertawa, lalu ia kecup pucuk kepalamu sebelum kembali berbicara. “Astaga, kamu ini kenapa hobi banget nambah-nambahin beban pikiran sendiri?”

“Aku tuh cuma—” Suguru memotong ucapanmu dengan kecupan singkat pada bibirmu.

“Maaf, aku gemas pengen cium kamu dari tadi,” ujarnya, lalu kembali mencium bibirmu.

Sungguh, ini adalah posisi berciuman paling canggung dan paling cepat membuatmu pegal menurutmu. Lehermu harus mendongak ke atas, seperti bayi burung yang mendapat makanan dari induknya. Namun, berkatnya itu kamu malah mendapat sebuah ide untuk menulis.

“Kak, kayaknya sekarang aku udah tau nanti mau nulis apa,” ujarmu setelah Suguru melepas ciumannya.

“Kenapa harus nanti? Sekarang aja, and I'll try to make your imagination into reality,” balasnya dengan berbisik lembut di telingamu, membuatmu sedikit bergidik.

Suguru berjalan dan berhenti tepat di sebelah kursi yang tengah kamu duduki. Tubuhnya ia condongkan lebih rendah, lebih rendah, dan lebih rendah lagi hingga bibir tipisnya kembali melumat bibirmu.

Tangan besarnya yang kokoh bergerak dan menekan lembut punggungmu agar lebih dekat dengannya. Sedangkan kedua tanganmu menahan dadanya yang terasa berdebar-debar dan hangat.

Bahaya. Otakmu sudah mengirim sinyal tanda bahaya jika kamu tidak menghentikannya. Namun syarafmu seolah tidak peduli dan lebih memilih untuk menikmati ciuman yang manis dan candu dari Suguru, lembut dan hangatnya setiap sentuhannya, aroma tubuhnya yang membuat fantasi liarmu makin gila, debaran jantungnya yang terasa begitu nyata di telapak tanganmu, deru napasnya yang patah-patah dan berat, dan suara miliknya yang menggelitik telinga dan perutmu.

Suguru melepaskan ciumannya. Ia tersenyum tipis setelah melihat wajahmu yang merona karenanya. Baginya, kamu tampak cantik dan menarik. Membuatnya ingin lakukan hal lain yang lebih dari sekadar berciuman untuk dapat melihat ekspresi lain yang akan kamu tampilkan.

“As a writer, what do you imagine would happen next between the characters in this moment?” tanyanya.

Kamu terlihat ragu dan berpikir sejenak, tapi Suguru memintamu untuk lebih jujur dan terbuka padanya. Ia bahkan berkata, “Aku gak akan nge-judge kamu. I'm your fan, Sayang. Aku mau dengar apa pun yang ada di kepala kamu.” Meski malu, kamu akhirnya menjawab pertanyaannya dengan suara pelan namun masih dapat didengar jelas oleh Suguru. Tentu saja, jarak wajah kalian tidak lebih dari satu jengkal!

“I'd like to see the characters explore their feelings, and... perhaps share a deeper emotional connection, Kak.”

“Okay, tell me more about it.”

“Di momen ini, aku mau tokoh utamanya nunjukin rasa cintanya ke pasangannya. Kalo ini gak bisa dipukul rata ya caranya harus kayak gimana, karena karakter setiap tokoh itu beda-beda dan pasti beda juga cara mereka nunjukin rasa cintanya. So, I'll let you show me how you'll treat me, Kak,” jawabmu dengan lugas.

Sesaat setelah kamu berkata demikian, Suguru tampak terkejut. Namun keterkejutannya itu kini berubah menjadi senyuman hangat yang mengembang di wajahnya.

“Is it okay if I do this?” bisiknya sembari tangannya membelai lembut punggungmu dan bibirnya mengecup lehermu.

Matamu terpejam akibat sensai geli yang disebabkan oleh sentuhan-sentuhannya, “Mmm, ya..”

“Geli?” tanyanya.

Kamu tersenyum malu-malu, “Sedikit.”

Lidah Suguru yang terasa hangat mulai menjilati lehermu dan sesekali giginya menggigit lembut, meninggalkan bekas-bekas kemerahan diatas kulitmu. Jantungmu berdegup tidak karuan, rasa gelisah, takut, geli, senang, dan rasa bersemangat untuk menantikan adegan-adegan erotis bersamanya menjadi satu hingga membuat napasmu tersengal-sengal.

Kamu menahan napas ketika tangannya dengan terampil mulai mengangkat kaos yang tengah kamu kenakan. Tubuhmu benar-benar merinding dan tidak tahu harus bersikap seperti apa.

“Apa karakter yang kamu tulis sekikuk dan sepemalu ini?” tanya Suguru dengan kekehan yang sejak tadi ia tahan.

“Itu cuma imajinasiku. Kalo ini, aku baru pertama kali.. apalagi sama Kak Suguru.. aku malu,” balasmu sembari memalingkan wajah yang sudah merah padam.

“Kamu tau gak? Semakin kamu malu-malu kayak gini, pikiranku malah makin gak waras,” ucap Suguru yang kini mulai melepas kaos hitamnya dan membiarkan otot-otot pada perut, dada, dan lengannya untuk menggoda akal sehatmu.

Suhu tubuhmu seakan meningkat dengan drastis, dadamu terasa sesak dan ingin rasanya bebas, matamu kesulitan untuk berkedip, detak jantungmu berdebar keras seakan ingin mendobrak keluar, napasmu patah-patah dan berat, bahkan kewanitaanmu di bawah sana berkedut-kedut seolah meminta untuk dijamah oleh daging tebal dan berurat milik seorang Suguru Geto seperti fantasimu selama ini.

Tanpa sadar, tanganmu terulur dan hampir menyentuh resleting celananya. Namun, dengan cekatan ia segera menahan tanganmu. Wajahnya yang beberapa saat lalu tampak terkejut, kini tampak memerah dan tawa keluar dari mulutnya.

“My treat, Sayang. Just relax and let me take care of you,” ujarnya lalu mengecup punggung tanganmu. Pria itu benar-benar tahu caranya membuatmu malu dan semakin berdebar-debar.

Kaosmu yang semula ia angkat kini sudah kembali turun dan menutupi dada dan perutmu, sehingga Suguru membelai, meraba, dan meremas payudaramu yang masih tertutup kaos dan bra sembari mulutnya sibuk memberikan kesenangan untukmu hingga hampir membuatmu lupa caranya bernapas.

Ia turunkan tali bra yang sedari tadi bertengger di bahumu, lalu ia tarik turun bramu hingga membuat dua buah bulatan kecil tampak menyembul seakan menginginkan atensi dari pria di hadapannya. Ia menunduk dan mengecup kedua bulatan kecil sensitif itu dari balik kaosmu. Hal itu membuatmu berpikir, ia bahkan belum menyentuhnya secara langsung tapi tubuhmu sudah mulai menggila. Bagaimana rasanya jika ia menyentuhnya, membelainya, mencubitnya, dan meremasnya dengan tangan kekarnya yang hangat? Dan seperti apa rasanya jika mulutnya yang hangat dan lidahnya yang sangat terampil itu menjilatinya, memilinnya, dan menghisapnya?

Sungguh, memikirkannya saja sudah membuat vaginamu berkedut hebat, terasa panas, dan makin basah.

Seolah tahu apa yang kamu pikirkan, ia tarik kaosmu keatas dan memintamu untuk menahannya. Kamu tampak malu-malu dan berkali-kali lipat lebih menggoda di matanya. Dua gundukan indah yang tampak bergerak naik turun secara ritmis, dua kuncup berwarna lebih gelap di tengahnya yang sudah menegang, wajah memerahmu yang tampak cantik meski tanpa riasan, tatapan matamu yang penuh nafsu menggebu, itu semua membuat Suguru hampir kehilangan akal sehatnya dan ingin menjejalkan kejantanannya yang sudah berereksi saat itu juga. Ingin rasanya ia mencumbumu hingga membuatmu menitikkan air mata dan memohon ampun, atau mungkin malah memohon untuk ia gagahi lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi.

Suguru berlutut di hadapanmu yang duduk tegak dan sedikit tegang di atas kursi. Wajahnya mendekat, dan semakin dekat hingga hembusan napasnya membelai lembut kuncup payudaramu.

Jantungmu nyaris melompat ketika lidahnya ia julurkan dan mulai membasahi permukaan gundukan lembut di dadamu itu. Ia gerakkan lidahnya memutari payudaramu hingga sekitar areolamu, dan tampaknya ia sengaja mengujimu. Bagaimana tidak? Ketika lidahnya hampir menyentuh putingmu, dan bahkan kamu sendiri sudah menahan napasmu, ia malah menjilati sisi payudaramu yang lain.

Dan lagi-lagi, ketika hanya berjarak sedikit lagi lidahnya menyentuh putingmu, ia urungkan dan hanya meniupnya. Membuatmu hampir gila dan ingin memaksanya untuk menyentuhnya, dengan jarinya, lidahnya, dan juga mulutnya, atau bahkan penisnya yang tampak ingin sekali dibebaskan dari belenggu celana jeansnya yang menyiksa. Dan sialnya, Suguru tahu itu.

“Kenapa, Sayang? Mau dijilat juga?” tanyanya dengan senyum menggoda.

“Kak, please..” cicitmu.

“Apa, Sayang? Mau dijilatin apa dicubitin tuh pentilnya?”

Sungguh pertanyaan gila yang seharusnya ia sendiri sudah tahu bahwa ia bisa saja melakukan keduanya. Tapi tentu saja, ia ingin menggodamu. Ingin tahu seberapa liarnya imajinasimu saat bersamanya. Dan kamu benar-benar terperangkap seperti anak domba yang tersesat dan percaya bahwa serigala yang ia temui adalah domba dewasa yang bisa ia percaya.

“Kalo kamu gak jawab, aku gak lanjutin,” sambungnya lagi.

“Ini... ini dijilat. Yang ini... dicubit,” jawabmu lirih sembari menunjuk payudaramu dengan tanganmu sendiri. Memalukan namun Suguru terlihat senang dan menikmatinya.

“Gak nyangka kamu sebinal ini, Sayang,” ucap Suguru yang segera mengulum putingmu dengan lidahnya yang terasa hangat dan basah, menciptakan sensasi geli yang adiktif dan menyenangkan. Tidak hanya itu, sebelah tangannya kini menggesek-gesek putingmu yang sudah menegang di sisi lain, menariknya, dan mencubitnya hingga tubuhmu menggelinjang nikmat dan membuatmu mengerang.

“Yang? Kamu baru begini aja udah keluar?”

Kamu menggeleng lemah, “Enggak!”

Tanpa bertele-tele, Suguru lantas menarik turun celana panjangmu dan menyisakan celana dalammu yang sudah basah dan berbau khas yang membuat Suguru ingin mendekatinya, menyentuhnya, dan bahkan ia ingin menjilatinya. Ingin merasakan setiap bagian dari tubuhmu dengan lidahnya.

Tangannya kini menyentuh bagian bawahmu yang hanya berbalut celana dalam yang sudah lembab. Tidak, lebih tepatnya ia menggesek-gesekkan klitorismu yang sama tegangnya dengan puting susumu itu dengan jari tengahnya yang tebal. Kepalamu merinding, lubang vaginamu tidak berhenti untuk berkedut, malah kedutnya makin menggila seakan ia tengah kelaparan dan ingin segera dijejali oleh sesuatu yang panjang dan tebal. Sesuatu milik Suguru Geto.

Dengan kurang ajarnya ia tarik turun satu-satunya kain yang menutupi klitorismu yang memerah itu, membuatmu salah tingkah sekaligus malu ketika ia dekatkan wajahnya hingga deru napasnya yang hangat dapat kamu rasakan diantara kedua pangkal pahamu.

Pinggulmu benar-benar tidak tahu sopan santun, bergerak seenaknya dan bahkan punggungmu turut melengkung hingga membuat dadamu membusung ketika lidah Suguru menjamah klitorismu dan turun hingga lidahnya menjumpai lubang vaginamu yang masih berkedut dengan liarnya hingga cairan kental tidak henti-hentinya membanjiri.

Posisi ini benar-benar tidak nyaman. Duduk menyamping dengan sandaran kursi di sebelahmu, sedangkan tubuhmu yang mulai lemas ingin sekali bersandar pada sesuatu agar tidak jatuh. Bahkan kamu tidak tahu harus menempatkan kedua tanganmu di mana untuk berpegangan, sehingga tanpa sadar kamu malah memegangi kepalanya dan sesekali meremas-remas rambutnya hingga kunciran yang semula ia kenakan terlepas dan membuat rambut panjangnya tergerai.

“Stop, kak! Kak.. please..” cicitmu yang tidak ia gubris, justru lidahnya malah makin liar di bawah sana.

“Kak, aku mau keluar..” ujarmu lagi sembari mencengkram bahunya yang sedikit licin karena keringat.

Kali ini Suguru mengangkat wajahnya dan menatapmu sembari menyunggingkan senyum. Dia memang selalu saja tersenyum, meski tiap senyumnya memiliki makna yang berbeda-beda. Seperti saat ini, ia tersenyum jahil, “Not now, Sayang. Tahan sebentar ya.”

Ia ciumi pipimu sebelum ia angkat tubuhmu yang baginya hanya seringan bulu angsa dan mendaratkan tubuhmu diatas kasur. Kini kamu mulai mempertanyakan dari mana keterampilan tangannya ini ia dapatkan, karena tangannya dengan lihainya berhasil menelanjangimu dengan sempurna tanpa kesulitan. Bahkan kini ia dengan cekatan membuka resleting celana jeansnya, melepas kancingnya, menurunkannya, dan melepas celana dalam warna kelabu miliknya hingga membuat penisnya yang tampak besar, berurat, dan berkedut itu berdiri kokoh di hadapanmu.

Instingmu memaksamu untuk menyentuhnya. Ingin merasakan seperti apa miliknya di dalam genggamanmu.

Suguru mulai naik ke atas ranjang, lagi-lagi ia berlutut, namun kali ini ia berlutut di dekat kepalamu hingga kamu mampu melihat miliknya yang menegang itu dengan sangat jelas. Insting dan akal sehatmu tidak lagi mampu berjalan senormal biasanya, kamu bahkan tidak bisa mencegah tanganmu yang kini meraih batang hangat miliknya itu. Membelainya, bahkan seluruh inderamu seakan ingin memenuhi rasa keingintahuannya pada alat kejantanannya itu. Bukan hanya terbawa suasana oleh nafsu yang memuncak, melainkan juga untuk referensimu dalam menulis.

Sejenak kamu berpikir, seperti apa rasanya jika miliknya yang sebesar itu menyodok vaginamu? Apakah akan terasa sakit atau justru terasa nikmat? Bagaimana jika miliknya tidak muat dengan lubang sempit milikmu? Apakah kamu akan mati jika ia benar-benar memasukkannya dan menyodoknya dengan kencang?

Gila. Sungguh gila. Jantungmu berdegup liar, tidak sabar untuk rasakan seperti apa dahsyatnya bercinta dengannya. Dengan Suguru yang kini penisnya berada dalam genggamanmu.

“Udah puas belum liatinnya?” tanyanya.

“Gede banget, di mulutku aja kayaknya gak muat deh. Apalagi di sana?” cicitmu yang masih memainkan penisnya, menaksir ukurannya dengan tanganmu.

Kamu hampir saja ingin merasakan miliknya dengan lidah dan mulutmu, namun ia menahanmu dengan berkata, “Just relax and let me take care of you, Sayang.”

Bukannya tidak ingin, ia hanya tidak sabar ingin menjejalkan kejantanannya itu ke dalam lubang milikku yang hangat dan basah itu.

Kemudian ia menyobek bungkusan yang sedari tadi ia genggam, sebungkus lateks yang warnanya sedikit transparan, lalu menanyaimu yang masih tampak penasaran dengan miliknya yang sedari tadi kamu sentuh, “Mau bantu pasang?”

Kamu meraihnya, mencoba merenggangkannya agar kondom itu dapat sepenuhnya menutupi permukaan penis besar Suguru. Entah apa yang ia rasakan kala tanganmu menyentuhnya, yang pasti wajahnya sedikit memerah, keringat mulai merembes dari kulitnya, dan bahkan suaranya pun terdengar lebih berat seiring deru napasnya yang tampak sama beratnya dengan suaranya.

Setengah mati Suguru menahan dirinya untuk tidak tergesa-gesa, namun tampaknya kesabarannya telah menemui batasnya. Pasalnya kamu tidak kunjung selesai memasangkan kondom pada penisnya, tanganmu makin lama malah makin merangsang hawa nafsu yang sedari tadi ia tahan. Sehingga ia turut membantumu agar lebih cepat dan segera bergerak mendekati pangkal pahamu.

Ia bentangkan pahamu hingga menampilkan kewanitaanmu yang sudah berlumuran mani. Ia sentuh salah satu lubangnya yang terlihat berdebar-debar layaknya jantung milikmu dan tersenyum jahil.

“Udah gak sabar ya pengen dijejelin?” ujarnya dengan tawa.

“Hm? Jawab, Sayang,” ujarnya lagi memintamu untuk merespon ucapannya.

“Kak.. langsung masukin aja— AKH! PELAN-PELAN!” balasmu yang mendadak teriak kesakitan kala ia benar-benar menghujam vaginamu dengan miliknya, sesegera setelah kamu mengiyakan pertanyaannya barusan.

“Masih sakit? Mau berhenti dulu?” tanyanya yang mulai khawatir melihatmu tampak kesakitan hingga air mata menggenang di pelupuk matamu.

“Sakit... tapi lanjutin aja, pelan-pelan..” jawabmu sembari memegangi lengan kekarnya.

Suguru kembali menekan masuk penisnya, alisnya sedikit tertaut merasakan betapa sempitnya milikmu itu hingga membuat miliknya yang besar itu sedikit kesulitan untuk masuk. Sesekali ia mengecup bibirmu, keningmu, pipimu, dan juga berbisik tepat di telingamu.

“Rileks, Sayang.”

“Kak, gak muat.. gak muat! Kak Suguru gede banget!”

Suguru tersenyum tipis melihatmu menggeliat di bawahnya.

“Muat, Sayang. Kamu rileks ya, biar gampang masuknya,” bisiknya sembari menyingkirkan anak rambut yang menutupi dahimu yang mulai berkeringat.

Sungguh, kamu tidak pernah membayangkan bahwa pengalaman bercinta akan sesakit ini. Mana rasa nikmat yang biasa dikatakan orang-orang?

Namun, perlakuan Suguru yang manis. Suara beratnya yang berbisik di telingamu, bibirnya yang menciummu, dan tangannya yang menggenggam kedua tanganmu dengan erat, mulai dapat mendistraksi rasa sakit yang kamu rasa. Hingga akhirnya Suguru terdengar melepas napasnya dengan lega kala penisnya telah sepenuhnya masuk, ia tidak lantas nenggerakkan pinggulnya, melainkan mencium keningmu dan melumat bibirmu. Ia biarkan sejenak vaginamu untuk menerima dan membiasakan diri terhadap kehadiran penisnya yang kini bertengger di dalamnya.

“Masih terasa sakit gak?” tanyanya sembari merapikan rambutmu.

“Gak terlalu, aku masih bisa tahan,” jawabmu dengan napas terengah.

“Aku lanjut ya, Sayang,” ucapnya yang menerima anggukan lemah darimu.

Tangannya yang semula menggenggammu, kini beralih mencengkram pinggulmu guna memudahkannya untuk memacu penisnya bergerak memanjakanmu. Rasa merinding yang awalnya terasa di pucuk kepala, kini menjalar keseluruh tubuh hingga membuat tubuhmu bergetar hebat di bawah kuasa Suguru. Tubuhmu mulai menggelinjang, pikiranmu tidak karuan, bahkan ritme napasmu ikut berantakan seiring sodokan penisnya yang kian menggila.

Kamu ingin memintanya untuk berhenti atau setidaknya mengurangi tempo dengan memanggil namanya. Namun tindakanmu itu malah membuatnya makin menggebu-gebu dan menyodokmu makin gila hingga terdengar suara becek yang memenuhi penjuru kamar kosmu.

Dibanding rasa sakit yang tadi sempat kamu rasakan, sensasi ini tampaknya mampu membuatmu kecanduan. Sensasi merinding, geli, namun menyenangkan yang sulit dijelaskan.

“Enak, Sayang?” tanyanya di sela-sela kegiatannya yang masih gila-gilaan menyodokmu.

Kamu tidak mampu menjawab dengan kata-kata yang layak dan pantas. Hanya lenguhan, erangan, dan desahan yang keluar dari mulutmu yang basah dengan air liur yang bercampur milik Suguru.

“Gila, memek kamu enak banget, Sayang. Jepit-jepit terus, bikin aku mau keluar,” ucapnya disertai erangan dan cengkraman yang terasa lebih erat pada pinggulmu. Tubuhmu mengejang singkat sebelum akhirnya terkulai lemas meski tetap gemetar.

Ia mencabut penisnya. Sejenak kamu bernapas lega, berpikir bahwa ia akan menyudahi dan membiarkanmu istirahat, nyatanya ia tetap ingin bermain-main denganmu, dengan tubuhmu, dengan payudaramu yang kini lagi-lagi ia hisap dan cubiti. Ia mengistirahatkan penisnya namun tidak membiarkan tubuhmu yang terkulai barang sebentar saja? Untuk kali ini ia benar-benar egois!

Kamu memejamkan matamu, tidak kuat dengan setiap rangsangan gila yang ia berikan. Bahkan tangannya pun turut andil memberikan kegilaan dengan memainkan lubang vaginamu dengan jari-jarinya yang tebal dan panjang. Jangan tanya sudah berapa kali vaginamu membanjiri dengan cairan kentalnya, sebab kasurmu kini sudah kuyup dengan lendir dan keringat yang bercampur antara milikmu dan Suguru.

“Enakan dikobelin pake tangan apa pake kontol?” tanyanya dengan bibir yang berjarak tidak lebih dari satu sentimeter dari putingmu yang basah karena saliva miliknya, sisa-sisa bekas hisapannya barusan.

Akal sehatmu yang sudah tidak terkendali membuatmu menjawab tanpa berpikir, “Kontol gede Kak Sug..”

Tentu saja, jawabanmu barusan membuatnya meringis kemenangan. Lagi-lagi ia jantani lubang senggamamu dengan penisnya yang kembali mengeras, pria itu benar-benar tidak ingin membuang waktu. Bahkan ia tidak memberimu banyak waktu untuk istirahat.

Kali ini tubuhmu benar-benar lepas kendali. Pinggulmu tidak bisa diam, sama halnya dengan otot-otot vaginamu yang terus menerus memijat penisnya tanpa henti, pinggulmu bergerak semaunya sendiri. Ia menciummu, melumat bibirmu entah yang keberapa kalinya, membuat dadamu bersentuhan dengan kulitnya yang sama-sama licin dengan keringat. Hangat, basah, dan nikmat, tubuhmu meliuk di bawahnya, di dalam dekapan lengan Suguru yang merangkul tubuhmu yang penuh keringat.

Kamu tidak tahu kegiatan erotis ini akan berlangsung berapa lama, sebab Suguru tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti seolah ia telah menantikan momen ini begitu lama dan merasa sayang untuk berhenti cepat-cepat. Sedangkan kamu, tubuhmu sudah mulai kelelahan, hanya bergerak berdasarkan insting dan membiarkannya mengambil alih tubuhmu hingga nafsunya terpuasi.

Pikiranmu juga tampaknya sudah sekacau kasurmu. Jangankan memikirkan inspirasi untuk melanjutkan tulisanmu yang sempat tersendat, mengingat caranya bernapas saja kamu sudah bersyukur selama menghadapi Suguru di ranjang seperti ini. Ia benar-benar seperti makhluk buas yang tamak, berhenti sejenak hanya untuk mencabut penisnya dari vaginamu, melepas kondomnya yang penuh, lalu ia semburkan sperma kental dari penisnya ke tubuhmu hingga wajahmu sedikit terciprat cairan beraroma tajam itu. Tidak berlangsung lama sampai ia selesai berganti dengan kondom baru dan kembali menusuk-nusuk lubang sensitif milikmu yang tampaknya sudah mulai menyesuaikan diri dengan ukuran miliknya yang besar itu, dengan posisi baru dan dengan berbagai pose gila yang bahkan kamu sendiri tidak bernah berpikir bahwa tubuhmu akan mampu berpose selentur itu.

Tampaknya mengabadikan kegiatanmu bersamanya dalam sebuah karya tidaklah buruk, bukan? Benar, tidak buruk jika esok hari kamu masih mampu membuka mata dan masih sanggup memegang pena atau papan ketikmu usai malam yang terasa begitu panjang ini bersamanya.


— Fin.


©️ unatoshiru